WAHANANEWS.CO, Jakarta - Operasi drone besar-besaran Ukraina yang dinamai “Jaring Laba-laba” menghantam lima pangkalan udara Rusia pada Minggu (1/6/2025) dan mengguncang reputasi sistem pertahanan udara Negeri Beruang Merah.
Rentetan serangan itu menimbulkan keraguan besar terhadap kemampuan sistem rudal S-400 Moskow yang selama ini dibanggakan.
Baca Juga:
Ukraina Buka 'Front Baru': 41 Pesawat Rusia Hancur, Kini Ledakkan Lagi Jembatan Krimea
Para pakar bahkan menyebut insiden ini sebagai “Pearl Harbor versi Rusia”.
Militer Ukraina menyatakan bahwa 41 pesawat tempur Rusia, termasuk pesawat pengebom strategis berkekuatan nuklir, berhasil diserang dalam operasi tersebut.
Presiden Volodymyr Zelensky menyambut keberhasilan itu dengan penuh kebanggaan.
Baca Juga:
'Jaring Laba-Laba' Menembus Kutub Utara, Zelensky Hantam Jet Strategis Rusia
Ia menegaskan bahwa “Operasi Jaring Laba-laba” mampu menjangkau sasaran bernilai tinggi lebih dari 4.000 kilometer di dalam wilayah Rusia.
Operasi ini dirancang oleh badan intelijen Ukraina, SBU, dengan menyasar pangkalan udara di Belaya (Siberia Timur), Dyagilevo (Ryazan), Ivanovo Severny (Ivanovo), Olenya (Murmansk), dan Ukrainka (Amur).
Namun keberhasilan mengejutkan ini memunculkan pertanyaan serius: bagaimana mungkin sistem pertahanan udara Rusia, yang mencakup teknologi tercanggih seperti S-400 dan S-500, bisa kecolongan sedemikian besar?
Letnan Jenderal (Purn) Vishnu Chaturvedi dari India menilai bahwa secara teknis sistem pertahanan Rusia “tidak gagal”, melainkan disusupi.
Menurutnya, drone-drone itu kemungkinan besar diluncurkan dari dalam wilayah Rusia, bukan dari luar perbatasan. Kontainer tersembunyi di atas truk diduga menjadi peluncurnya.
"Jarak tempuh yang pendek membuat drone-drone ini menghantam target hanya dalam hitungan detik atau menit. Pasukan Rusia tak punya cukup waktu untuk bereaksi," jelas Chaturvedi.
Yang membuat situasi makin parah, lanjutnya, drone tersebut terbang sangat rendah, melewati batas bawah radar sistem seperti S-400, yang dirancang untuk menghadapi ancaman dari ketinggian dan jarak jauh. Diperkirakan 117 drone dikerahkan, membuat sistem pertahanan Rusia kewalahan.
Chaturvedi menekankan bahwa masalahnya bukan pada kualitas teknologi S-400, melainkan pada kegagalan intelijen Rusia.
Ia menyebut Ukraina telah menyiapkan operasi ini lebih dari setahun, mungkin dengan menyelundupkan drone ke Rusia lewat Kazakhstan. Namun, dinas intelijen Rusia tidak berhasil mendeteksinya.
"Sistem S-400 sangat mumpuni untuk menangkis ancaman hingga 400 km, tapi ia tidak dirancang untuk menghadapi serangan dari dalam wilayahnya sendiri, pada ketinggian rendah dan dengan jarak yang sangat dekat," ujarnya, seperti dikutip India TV News, Selasa (3/6/2025).
Ini bukan kali pertama pesawat nirawak Ukraina menjebol pertahanan Rusia.
Antara 2023 dan 2024, Ukraina juga berhasil menghancurkan beberapa sistem S-400, termasuk perangkat radar intinya.
Meski demikian, Chaturvedi menegaskan bahwa kegagalan ini tak serta-merta membuktikan kelemahan sistem.
Penyebabnya bisa jadi kurangnya pengalaman operator, kesalahan dalam penempatan, atau tidak adanya dukungan pertahanan berlapis yang semestinya mengiringi sistem S-400, hal yang sangat diperhatikan India dalam penggunaannya.
Ia juga memperingatkan bahwa Kremlin hampir pasti akan membalas.
"Presiden Putin akan membalas dengan kekuatan. Kyiv dan Sumy bisa menghadapi serangan yang lebih intensif," kata Chaturvedi. Ia juga menyindir strategi Ukraina.
"Zelensky telah mengubah negara yang dulu berkembang menjadi zona perang. Bahkan jika Ukraina keluar dari konflik ini, akan dibutuhkan 15 hingga 20 tahun untuk membangun kembali institusi dan ekonominya," jelasnya.
Meski Rusia juga menderita dalam perang yang tak kunjung usai ini, serangan drone yang sukses dan lemahnya pertahanan telah membuka mata dunia akan rapuhnya kekuatan militer superpower jika dihadapkan pada taktik asimetris, murah, dan sulit dilacak.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]