WAHANANEWS.CO, Jakarta - Serangan udara Amerika Serikat ke wilayah yang dikuasai kelompok Houthi di Yaman kembali mengguncang kawasan, memunculkan kekhawatiran akan konflik yang makin melebar di Timur Tengah.
Target kali ini adalah pelabuhan minyak utama Ras Issa, dan serangan ini disebut-sebut sebagai yang paling mematikan sejak kampanye udara AS diluncurkan pada Maret lalu.
Baca Juga:
Negosiasi Tarif dengan AS Menghangat, Prabowo Tancap Gas Sederhanakan Aturan Impor
Serangan Malam Hari dan Puluhan Korban Jiwa
Menurut laporan Bloomberg, jet tempur AS meluncurkan lebih dari belasan serangan ke terminal impor bahan bakar Ras Issa pada malam hari, menewaskan sedikitnya 74 orang — sebagian besar di antaranya adalah pekerja pelabuhan — serta melukai 171 orang lainnya.
Otoritas kesehatan yang dikelola oleh Houthi di wilayah tersebut mengonfirmasi jumlah korban.
Baca Juga:
Ketegangan AS-Iran Kembali Membara Lewat 'Mulut Pedas' Trump
Ras Issa yang terletak sekitar 60 kilometer utara kota pelabuhan Hodeida di tepi Laut Merah, merupakan jalur penting distribusi bahan bakar ke wilayah yang dikuasai Houthi.
Kelompok itu menyebut terminal mengalami kerusakan besar akibat bombardir.
Tujuan Serangan: Memukul Ekonomi Houthi
Komando Pusat AS (CENTCOM) menyatakan melalui akun resmi mereka di X bahwa serangan tersebut bertujuan untuk melumpuhkan kekuatan ekonomi Houthi.
“Serangan ini tidak dimaksudkan untuk menyakiti rakyat Yaman, yang secara sah ingin melepaskan diri dari belenggu penindasan Houthi dan hidup dalam damai,” tulis CENTCOM.
Mereka menambahkan bahwa, “Houthi menggunakan bahan bakar untuk mempertahankan operasi militer mereka, sebagai alat pengendalian, dan untuk meraup keuntungan ekonomi melalui penggelapan hasil impor.”
Namun, CENTCOM tidak memberikan pernyataan mengenai jumlah korban jiwa dan belum memberikan tanggapan atas permintaan komentar dari Bloomberg.
Reaksi dan Ancaman Balasan
Pemimpin kelompok Houthi, Abdul Malik Al-Houthi, dalam pidatonya pada hari Kamis bersumpah akan terus melawan.
“Kami akan terus melancarkan jihad melawan tirani Amerika dan Israel,” ujar Al-Houthi dengan nada keras.
Tak lama setelah serangan di Ras Issa, militer Israel mengaktifkan sistem peringatan dini karena deteksi peluncuran rudal dari arah Yaman. Proyektil tersebut berhasil ditembak jatuh dan tidak menimbulkan korban.
Kementerian Luar Negeri Iran pun bereaksi keras. Dalam pernyataannya, mereka menyebut serangan di Ras Issa sebagai tindakan “biadab” dan menyebut AS sebagai “komplotan dan mitra dalam kejahatan Israel.”
Trump Dorong Tekanan, Serangan Darat Mengintai
Serangan-serangan udara oleh AS dimulai setelah Donald Trump kembali menjabat pada Januari dan langsung menetapkan Houthi sebagai organisasi teroris asing.
Dua bulan kemudian, serangan udara diluncurkan untuk menghentikan serangan Houthi terhadap kapal dagang dan kapal perang di Laut Merah, serta serangan rudal ke wilayah Israel.
Namun hingga kini, serangan-serangan itu belum berhasil sepenuhnya menghentikan perlawanan Houthi.
Situasi ini membuat Washington kini mempertimbangkan dukungan untuk ofensif darat yang dipimpin oleh pasukan Yaman anti-Houthi, dengan dukungan negara-negara Teluk.
Menurut laporan Bloomberg, target utama dari kemungkinan serangan darat tersebut adalah untuk merebut kembali kota pelabuhan Hodeida, dan bahkan mungkin ibu kota Yaman, Sanaa.
Konflik Panjang dan Dukungan Iran
Houthi telah menguasai Sanaa, Hodeida, dan sejumlah wilayah lain sejak menggulingkan pemerintahan Yaman hampir satu dekade lalu.
Mereka mengklaim bahwa aksi mereka adalah bentuk solidaritas terhadap perjuangan rakyat Palestina dan akan terus berlanjut hingga perang Israel-Hamas di Gaza berakhir.
Meski didukung oleh Iran, Houthi dikenal lebih independen dibandingkan kelompok proksi Iran lain seperti Hizbullah di Lebanon.
Bantuan militer dan teknis dari Teheran tetap menjadi faktor penting dalam kemampuan tempur kelompok tersebut.
Negosiasi dengan Iran Tetap Berjalan
Di sisi lain, meskipun AS menyatakan bahwa kampanye udara juga ditujukan untuk memberikan tekanan terhadap Iran, Washington tetap melanjutkan upaya diplomatik.
Putaran pertama pembicaraan telah dimulai akhir pekan lalu di Oman, dan sesi lanjutan dijadwalkan berlangsung di Roma pada hari Sabtu.
Trump pun memberi sinyal akan meningkatkan tekanan terhadap Teheran.
“Jika Iran tidak menyetujui kesepakatan yang membatasi aktivitas nuklirnya, kami tidak segan mengambil langkah militer,” ujar Trump dalam pernyataan terbaru.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]