Sejak 2022, junta melarang demonstrasi dan menindak keras oposisi, termasuk dengan penangkapan, pengasingan paksa, hingga penghilangan sejumlah tokoh. Pada Agustus lalu, dua partai oposisi utama ditangguhkan selama tiga bulan. Beberapa media juga dibekukan, sementara jurnalis ditangkap, memicu iklim ketakutan di kalangan pers.
Jika disahkan, konstitusi baru akan menggantikan piagam transisi yang sebelumnya melarang pemimpin junta maupun pejabat negara maju dalam pemilu. Aturan itu kini dihapus, membuka jalan bagi Doumbouya mencalonkan diri sebagai presiden.
Baca Juga:
PBB Tolak Klaim Kemenangan Referendum Rusia di Ukraina
Meski mengandung pasal progresif, seperti pembentukan Mahkamah Agung, pembentukan Senat, serta kuota minimal 30% perempuan dalam jabatan politik, draf konstitusi juga menuai kritik keras.
Syarat calon presiden yang harus berusia 40 hingga 80 tahun dan berdomisili utama di Guinea otomatis menyingkirkan dua tokoh oposisi besar, yakni mantan presiden Conde (87) yang berada di Istanbul serta mantan PM Cellou Dalein Diallo (73) yang tinggal di Dakar dan Abidjan.
Sejak kudeta 2021, Guinea masih diskors dari Uni Afrika (AU). Sementara itu, ECOWAS juga tidak mengundang negara tersebut dalam pertemuan kepala negara.
Baca Juga:
Rusia Segera Caplok Wilayah Referendum
Kantor HAM PBB dalam pernyataannya mendesak junta Guinea memastikan referendum berlangsung damai dan transparan. Namun lembaga itu juga menyoroti larangan partai politik serta media yang menimbulkan keraguan terhadap inklusivitas dan kebebasan partisipasi.
[Redaktur: Alpredo Gultom]
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.