WAHANANEWS.CO, Jakarta - Keputusan mengejutkan datang dari jantung NATO. Polandia, negara yang berbatasan langsung dengan Ukraina dan dikenal sebagai sekutu garis depan melawan agresi Rusia, memutuskan membatalkan rencana pembelian 32 unit helikopter S-70i Black Hawk.
Langkah ini dinilai sebagai sinyal perubahan drastis dalam cara militer Barat menyikapi ancaman modern, khususnya setelah dua tahun menyaksikan dinamika brutal perang di Ukraina.
Baca Juga:
Dansatgas Operasi Bantuan Filipina: Keamanan Dan Keselamatan Adalah Utama
Situs militer dan pertahanan DSA melaporkan bahwa alasan utama penundaan ini adalah evaluasi ulang terhadap efektivitas helikopter dalam konflik modern.
"Kami telah memutuskan untuk mengubah prioritas program helikopter. Lebih baik beradaptasi dengan tantangan peperangan di masa depan," kata Jenderal Wieslaw Kukula, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Polandia, dalam konferensi pers akhir pekan lalu.
Wakil Menteri Pertahanan Polandia, Paweł Bejda, menambahkan lewat platform X bahwa keputusan tersebut didasarkan pada hasil analisis para pilot, ahli militer, dan pengamat strategis Polandia terhadap dinamika geopolitik serta "perang di Ukraina" dan langkah modernisasi militer Rusia.
Baca Juga:
Demi Rafathar, Raffi Ahmad Terbang Pakai Helikopter untuk Hadiri Acara Sekolah
Grzegorz Polak, juru bicara Badan Persenjataan Polandia, mengatakan kepada Reuters bahwa prioritas militer negaranya membutuhkan “beberapa perbaikan.”
Ia mengisyaratkan kemungkinan pergeseran ke sistem tak berawak, kendaraan tempur lapis baja, atau infrastruktur komunikasi militer yang lebih canggih.
Dalam wawancara dengan Defence24, ia juga menegaskan bahwa ancaman yang berkembang menuntut perubahan fokus militer secara menyeluruh.
Meski begitu, keputusan ini menuai kritik tajam dari kalangan oposisi. Mariusz Błaszczak, mantan Menteri Pertahanan Polandia, mengecam langkah itu sebagai “aib nasional.”
Dalam pernyataannya di X, ia menegaskan bahwa pembatalan ini berpotensi memicu kehilangan lapangan kerja, penundaan modernisasi armada helikopter, dan mengancam interoperabilitas militer karena beberapa unit Black Hawk sudah dioperasikan Polandia.
Diketahui, rencana pembelian S-70i Black Hawk, versi Polandia dari UH-60 buatan Lockheed Martin, sudah dimulai sejak 2023 di bawah pemerintahan sebelumnya.
Rencananya helikopter tersebut akan digunakan dalam operasi tempur, logistik, dan mendukung armada helikopter serang Apache Guardian AH-64E yang dipesan dari Amerika Serikat.
Namun Bejda menegaskan bahwa belum ada kontrak resmi yang diteken, sehingga langkah ini bukan pembatalan kontrak, melainkan pembatalan rencana.
Sementara itu, pengalaman di Ukraina menunjukkan peran helikopter sangat kontras, efektif di satu sisi, namun amat rentan di sisi lain.
Dalam ulasan yang dikutip Business Insider, disebutkan bahwa helikopter sangat berguna di awal invasi Rusia pada Februari 2022 maupun saat serangan balik Ukraina di 2023.
Namun, peran itu menurun drastis karena meningkatnya ancaman sistem pertahanan udara canggih.
“Berkembangnya pertahanan udara berarti kalau mereka, seperti pesawat lainnya, harus menjauh dari pertempuran garis depan lebih lama daripada konflik-konflik sebelumnya, yang membuat mereka jauh kurang berguna,” tulis laporan tersebut.
Ukraina berhasil menjatuhkan banyak helikopter tempur Rusia, termasuk Ka-52, dan melancarkan serangan ke pangkalan udara jauh dari garis depan.
Sistem HIMARS buatan AS juga menjadi momok bagi armada udara Rusia.
Laporan menyebut lebih dari 100 helikopter Rusia hancur selama dua tahun pertama perang, meski angka sebenarnya bisa lebih besar.
Mark Hertling, mantan Komandan Angkatan Darat AS di Eropa, menyebut bahwa Rusia "sangat buruk" dalam mengoperasikan helikopter dan aset udara lainnya.
Namun ia juga mengakui bahwa kelemahan sistem pertahanan udara Ukraina membuat helikopter Rusia masih bertahan di beberapa lini.
Andrew Curtis, mantan perwira Angkatan Udara Kerajaan Inggris, menambahkan bahwa “kerentanan helikopter di medan perang modern bukan lagi soal taktik biasa, ini soal hidup dan mati.”
Langkah Polandia ini memperkuat tren baru di kalangan negara Barat, yang kini lebih memprioritaskan pertahanan udara, drone, kendaraan tempur lapis baja, dan bahkan kembali menghidupkan pelatihan gaya lama seperti perang parit.
Polandia, yang saat ini mencatatkan rasio belanja militer tertinggi di NATO terhadap PDB-nya, tampaknya tidak ingin terjebak membeli alutsista yang tidak relevan dengan medan tempur masa depan.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]