WAHANANEWS.CO, Jakarta - Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menghadapi ujian serius terkait janji-janjinya tentang kebangkitan ekonomi nasional, di tengah deretan data yang menunjukkan perlambatan nyata dan kegelisahan pasar.
Enam bulan setelah kembali menjabat, Trump menerapkan serangkaian kebijakan ekonomi agresif seperti tarif impor tinggi dan pemangkasan pajak, namun hasilnya belum sejalan dengan ekspektasi publik.
Baca Juga:
AS Naikkan Tarif Lebih dari 15 Persen ke Puluhan Negara, Gejolak Dagang Kian Memanas
Pada Jumat (1/8/2025), laporan ketenagakerjaan nasional menunjukkan data yang mengecewakan, mendorong Trump memecat kepala lembaga statistik tenaga kerja dengan dalih data tidak akurat dan sarat kepentingan politik, meskipun ia tidak menyampaikan bukti konkret atas tuduhannya.
Di media sosial Truth Social, Trump menulis bahwa “perekonomian sedang BOOMING,” sebuah klaim yang kontras dengan indikator ekonomi yang menurun tajam.
Sejumlah pakar menyebut tren negatif ini bisa jadi merupakan dampak langsung dari perubahan kebijakan yang drastis atau pertanda awal gejolak ekonomi yang lebih besar.
Baca Juga:
Tarif Impor Lebih Rendah, Luhut: Vietnam dan Taiwan Incar Relokasi Pabrik ke Indonesia
Meskipun Gedung Putih mengklaim berhasil menekan negara-negara seperti Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, Filipina, dan Indonesia agar menerima tarif baru tanpa membalas, namun kenyataannya beban kebijakan ini jatuh ke tangan konsumen AS dalam bentuk harga barang yang semakin mahal.
Kevin Madden, konsultan Partai Republik, menekankan bahwa “kunci menjaga dukungan publik terhadap kebijakan ekonomi Trump adalah mengelola persepsi,” namun jajak pendapat terbaru menunjukkan penurunan tingkat kepuasan terhadap ekonomi di bawah Trump.
Survei AP–NORC bulan Juli mencatat hanya 38 persen warga dewasa AS yang menyetujui kebijakan ekonomi sang presiden, jauh turun dari angka 50 persen pada akhir masa jabatan pertamanya.
Gedung Putih tetap percaya diri, melalui juru bicara Kush Desai yang menyatakan bahwa Presiden Trump kembali menerapkan kombinasi kebijakan deregulasi, perdagangan adil, dan pemotongan pajak dalam skala lebih besar, sembari menyatakan bahwa “yang terbaik masih akan datang.”
Namun data lapangan tidak menguatkan optimisme tersebut, dengan manufaktur kehilangan 37.000 pekerjaan sejak tarif diterapkan April lalu, dan pertumbuhan lapangan kerja yang merosot hanya 73.000 pada Juli, 14.000 di Juni, dan 19.000 di Mei, jauh di bawah rata-rata 168.000 per bulan tahun lalu.
Selain itu, inflasi terus meningkat dengan harga barang dan jasa naik 2,6 persen hingga akhir Juni, dan harga impor seperti furnitur dan mainan melonjak tajam.
Produk Domestik Bruto (PDB) juga melemah, hanya tumbuh di bawah 1,3 persen pada semester pertama tahun ini, jauh dari 2,8 persen tahun lalu, memicu kekhawatiran tentang stagnasi ekonomi.
Analis Guy Berger dari Burning Glass Institute menyebut bahwa meski tingkat pengangguran belum naik, namun laju penciptaan lapangan kerja nyaris terhenti, yang menurutnya merupakan tanda ekonomi stagnan.
Ketidakpastian juga muncul dari sikap Trump terhadap The Fed, di mana ia mendukung dua gubernur yang pro penurunan suku bunga, yaitu Christopher Waller dan Michelle Bowman, dengan dalih memperkuat daya beli, meski kebijakan ini berisiko memperburuk inflasi.
Trump juga terus mengubah strategi tarif impornya, menggantikan kebijakan April 2025 yang sempat memicu kekacauan di pasar saham dengan aturan baru yang lebih luas.
Beberapa analis melihat pola ini bukan sekadar penyesuaian kebijakan, melainkan sinyal ketidakpastian ekonomi yang serius di tengah kepemimpinannya.