WAHANANEWS.CO, Jakarta - Amerika Serikat selama ini dikenal sebagai negara dengan kekuatan militer terbesar dan paling canggih di dunia. Namun, dominasi ini bukannya tanpa celah.
Di tengah ketegangan geopolitik global yang kian meningkat, terutama di kawasan Indo-Pasifik, China yang bangkit sebagai kekuatan ekonomi dan militer telah menyiapkan strategi matang untuk menggoyang hegemoni AS.
Baca Juga:
China Ambil Alih, Huayou Gantikan LG dan Suntik Rp165 Triliun ke Industri EV Indonesia
Berikut analisa mendalam tentang sejumlah kelemahan militer AS yang berpotensi dieksploitasi China dalam skenario konflik terbatas, bahkan perang skala penuh.
10 Kelemahan Militer Amerika Serikat
1. Ketergantungan Logistik Global dan Jalur Panjang yang Rawan
Baca Juga:
Beijing Bereaksi Keras, Kapal Perang AS Picu Siaga Tempur di Selat Taiwan
Salah satu titik lemah utama militer AS adalah ketergantungannya terhadap jalur logistik global yang panjang.
Dalam skenario konflik besar di Indo-Pasifik, AS harus menggerakkan pasukan dan peralatan dari pangkalan-pangkalan utama di daratan Amerika, Guam, Hawaii, hingga Jepang dan Korea Selatan.
Kerentanannya sangat jelas: jalur laut dan udara tersebut rentan diserang rudal jarak jauh, ranjau laut, hingga sabotase siber.
"China hanya perlu duduk manis dan memotong jalur logistik itu," kata seorang analis pertahanan.
Dengan strategi A2/AD (Anti-Access/Area Denial), China dapat menghambat akses militer AS menggunakan rudal balistik, rudal hipersonik, kapal selam, dan sistem anti-udara jarak jauh.
2. Kelelahan Perang dan Keretakan Politik Domestik
Setelah dekade peperangan di Afghanistan dan Irak, militer AS mengalami kelelahan operasional.
Keterlibatan berlarut-larut dalam mendukung Ukraina melawan Rusia serta bantuan masif kepada Israel di Gaza memperburuk beban itu.
"Dukungan kepada Israel telah mempermalukan AS di mata dunia," ujar seorang pengamat hubungan internasional.
Di dalam negeri, opini publik AS makin menolak keterlibatan dalam perang asing, terlebih bila tidak ada ancaman langsung terhadap kepentingan nasional.
Perpecahan di antara partai politik mengenai intervensi luar negeri membuat respons militer AS kerap tersendat.
China dapat memanfaatkan ini dengan melancarkan serangan cepat dan terbatas, "sebuah Blitzkrieg modern," untuk menciptakan keadaan fait accompli sebelum AS sempat merespons, terutama di Taiwan.
3. Ketergantungan Berlebih pada Teknologi Tinggi
Militer AS sangat mengandalkan sistem senjata canggih dan mahal, seperti F-35, kapal induk, dan satelit strategis.
Namun, kompleksitas ini menciptakan risiko besar: serangan siber, jamming elektronik, hingga sabotase bisa melumpuhkan sistem tersebut.
"Kapal induk AS seharga miliaran dolar bisa saja dihancurkan oleh satu rudal DF-21D," ujar pakar militer dari Asia Timur.
Selain itu, pembangunan kembali alutsista AS memerlukan waktu panjang dan biaya selangit, memperlambat regenerasi kekuatan bila terjadi kerusakan parah.
4. Fokus Global yang Menguras Sumber Daya
Amerika harus menjaga komitmen globalnya, dari NATO, Timur Tengah, hingga Afrika.
Sementara itu, China dapat memusatkan seluruh fokus dan sumber daya hanya untuk Indo-Pasifik.
Dalam konflik di Taiwan atau Laut China Selatan, AS harus membagi armada dan logistiknya ke berbagai front, sedangkan China cukup berkonsentrasi pada satu medan utama.
5. Birokrasi dan Lambannya Adaptasi
Pengadaan persenjataan baru di AS sering terhambat birokrasi rumit dan ketergantungan pada kontraktor besar seperti Lockheed Martin dan Boeing.
Sebaliknya, China dengan model kontrol negara dapat mengembangkan, menguji, dan memproduksi teknologi militer baru dengan cepat dan terorganisasi.
"China bergerak seperti cheetah, AS seperti gajah birokratis," sindir seorang analis militer independen.
6. Rentan terhadap Perang Asimetris dan Non-Militer
Doktrin militer AS bertumpu pada perang konvensional skala besar.
Namun, China membangun kekuatan di wilayah abu-abu melalui serangan siber, perang ekonomi, disinformasi digital, hingga infiltrasi politik di negara lawan.
China dapat mengacaukan infrastruktur digital AS, melumpuhkan listrik, jaringan komunikasi, bahkan sistem keuangan — semua tanpa satu pun peluru ditembakkan.
7. Ketergantungan pada Satelit
GPS untuk navigasi, komunikasi satelit untuk kendali drone dan pasukan, serta sistem pengintaian berbasis satelit menjadi urat nadi operasi militer AS.
Namun, China mengembangkan rudal anti-satelit (ASAT) dan teknologi laser blinding untuk menghancurkan atau membutakan satelit-satelit tersebut.
"Begitu satelit AS jatuh, medan perang akan menjadi buta dan tuli," ujar pakar teknologi pertahanan.
8. Ancaman Rudal Hipersonik
China telah menyalip AS dalam pengembangan rudal hipersonik, senjata yang bergerak lima kali kecepatan suara dan sulit dideteksi.
Rudal ini mampu menghancurkan kapal perang AS, bahkan sebelum mereka mendekati zona konflik.
9. Kerapuhan Aliansi Global
Meski memiliki aliansi kuat dengan Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Filipina, tidak semua negara bersedia terseret dalam konflik dengan China.
China memainkan diplomasi ekonomi lewat proyek OBOR untuk memperlemah solidaritas negara-negara tersebut.
Ada risiko bahwa dalam perang besar, AS bisa saja berjuang sendirian atau hanya dengan bantuan terbatas.
10. Biaya Perang yang Menghancurkan
Konflik melawan China diperkirakan akan menjadi perang paling mahal dalam sejarah, berpotensi mengguncang ekonomi dunia.
Dengan tingkat utang nasional tinggi, inflasi, dan krisis domestik, AS akan mengalami tekanan ekonomi besar jika terlibat dalam konflik panjang.
Sebaliknya, China yang memiliki kendali kuat terhadap ekonominya, lebih siap bertahan dalam skenario krisis.
4 Strategi Gabungan China untuk Mengalahkan AS
1. Serangan Kilat ke Taiwan
China bisa meluncurkan invasi mendadak, merebut Taiwan dalam waktu 3-7 hari sebelum AS mampu mengatur respons militer besar.
Jika Taiwan berhasil dikuasai dengan cepat, AS akan menghadapi dilema: berperang besar-besaran atau menerima kekalahan strategis.
2. Melumpuhkan Komunikasi dan Infrastruktur Militer AS
China dapat melakukan serangan pre-emptive terhadap satelit, jaringan komunikasi, dan pelabuhan-pelabuhan utama seperti Guam dan Yokosuka.
Tindakan ini akan menghambat mobilisasi AS sejak awal.
3. Perang Siber dan Serangan Ekonomi
Dengan menyerang sistem keuangan, transportasi, dan energi AS, serta mengguncang dolar melalui cadangan devisa, China bisa melumpuhkan kapasitas perang AS tanpa kontak fisik besar.
4. Memecah Aliansi Global AS
Dengan tekanan diplomatik dan ekonomi, China dapat membujuk negara-negara seperti Filipina atau Korea Selatan untuk bersikap netral, mengurangi efektivitas aliansi AS.
Meskipun kekuatan militer Amerika Serikat tetap yang terbesar secara global, China memahami bahwa di era peperangan modern, kecepatan, kecerdikan, dan penggunaan serangan multidimensi jauh lebih menentukan dibanding sekadar jumlah rudal atau tank.
"China bertarung dengan otak, bukan hanya otot," ungkap seorang pakar strategi internasional.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]