WahanaNews.co | Pemerintah Afghanistan rezim Taliban mengklaim berhasil mengumpulkan pundi-pundi pendapatan sekitar USD 270 dolar atau setara Rp 3,8 triliun sejak mengakuisisi pemerintahan sejak Agustus 2021 silam.
Juru Bicara Kementerian Keuangan versi Taliban, Ahmad Wali Haqmal mengatakan, pendapatan itu dikumpulkan dari hari ke hari.
Baca Juga:
Bio Farma Hibahkan 10 Juta Dosis Vaksin Polio untuk Afghanistan
Mengutip Anadolu Agency, ia mengidentifikasi bea cukai dan pajak lain sebagai sumber pendapatan utama, tanpa memberikan rincian lebih lanjut.
Baru-baru ini, Taliban mengatakan akan membayar gaji semua pegawai negeri sipil, yang belum dibayar selama tiga bulan terakhir.
"Kementerian keuangan mengatakan, mulai hari ini, tiga bulan terakhir gaji semua pegawai dan staf pemerintah akan dibayar seluruhnya," ujar Juru Bicara Taliban, Zabihullah Mujadi di Twitter, Sabtu (20/11).
Baca Juga:
Afghanistan Kembali Gempa Bumi Berkekuatan 6,3 Magnitudo
Gaji pensiunan yang tertunda, kata Wali, akan dibayar kepada seluruh pensiunan di Afghanistan.
Menurut Taliban, lebih dari 60 ribu iuran pensiunan belum dibayar pemerintah sebelumnya selama setahun.
Sebelumnya, pejabat Taliban melakukan pertemuan dengan utusan khusus Jerman dan Belanda.
Delegasi kelompok itu kemudian menyebut kedua negara bersedia menjajaki pembayaran pekerja sektor kesehatan dan pendidikan secara langsung melalui organisasi internasional.
Namun, sejauh ini masih belum jelas apakah pembayaran gaji terkait dengan pertemuan tersebut.
Afghanistan sedang mengalami krisis ekonomi yang dahsyat. Beberapa warga menjual aset yang dimiliki bahkan mengemis roti untuk bertahan hidup.
Dua hari usai Taliban menguasai Kabul, pemerintah Amerika Serikat membekukan aset bank sentral Afghanistan senilai sekitar US$9,5 miliar atau setara Rp135 triliun.
Tak hanya AS, banyak donor dan organisasi internasional termasuk Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) berhenti memberikan bantuan kepada Afghanistan.
Situasi ekonomi yang kian mencekik membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan sekitar 22,8 juta orang menghadapi krisis pangan akut. Angka ini meliputi hampir setengah populasi penduduk Afghanistan.
Human Rights Watch mendesak PBB dan lembaga internasional menyesuaikan pembatasan dan sanksi untuk memengaruhi ekonomi Afghanistan dan sektor perbankan.
Menurut media lokal, Hasht-e-Subh, pemerintah sebelumnya menghasilkan rata-rata sekitar US$235 juta dalam sebulan.
Angka ini terbilang stabil, bahkan selama bisnis sedang merosot saat pandemi Covid-19. [rin]