WAHANANEWS.CO, Jakarta - Pemotongan mendadak bantuan dari Amerika Serikat sebesar USD48 juta (sekitar Rp794,1 miliar) mengguncang sektor kesehatan Bangladesh, terutama memukul program pemberantasan tuberkulosis (TB) yang sebelumnya menunjukkan kemajuan berarti.
Bangladesh semula bersiap merayakan keberhasilan besar: penurunan jumlah kematian akibat TB dari lebih dari 81.000 kasus pada 2010 menjadi hanya 44.000 pada 2023, dilansir dari Barron’s, Rabu (7/5/2025).
Baca Juga:
Pemkab Kuningan Terima Bantuan Rp3 Miliar untuk Petani dari Kementan
Capaian ini dicapai berkat dukungan konsisten dari Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID).
Namun, keputusan Presiden AS Donald Trump untuk menghentikan bantuan secara sepihak mengancam menghapus kemajuan tersebut.
Langkah tersebut diperkirakan dapat meningkatkan kembali angka kematian yang sebenarnya bisa dicegah. Bangladesh sendiri termasuk dalam tujuh negara dengan tingkat prevalensi TB tertinggi di dunia.
Baca Juga:
Targetkan Panen Raya, Bupati Nias Barat Bagikan Puluhan Ton Benih Padi dan Jagung kepada Kelompok Tani
Negara ini menargetkan eliminasi TB pada 2035, namun tanpa sokongan internasional, pencapaian target itu menjadi jauh dari jangkauan.
Secara global, lebih dari 80 persen program kemanusiaan yang dibiayai USAID telah terhenti.
Termasuk di dalamnya program skrining massal TB di Bangladesh yang, sejak 2020 hingga 2024, telah memeriksa 52 juta orang dan mengidentifikasi lebih dari 148.000 kasus, termasuk 18.000 kasus pada anak-anak.
Penghentian pendanaan ini berisiko menghentikan seluruh upaya tersebut, yang tidak hanya vital bagi kesehatan nasional tetapi juga penting dalam pengendalian TB secara global.
Penyebaran penyakit menular di satu negara bisa menyebar dan memengaruhi kawasan lain dengan cepat.
Dampak pemangkasan anggaran ini juga meluas ke sektor kesehatan lain seperti program imunisasi dan pemberian makanan bagi anak-anak.
USAID sebelumnya mendukung program imunisasi yang melindungi 2,3 juta anak dari penyakit seperti difteri, campak, polio, dan tetanus.
Terhambatnya program ini bisa membalikkan pencapaian penting dalam upaya imunisasi.
Program makanan bergizi untuk anak-anak kelaparan yang baru saja diluncurkan juga terhenti.
Pemerintah sementara Bangladesh kini berpacu mencari sumber pendanaan alternatif.
Beberapa negara seperti Tiongkok, Turki, dan beberapa negara Arab telah menunjukkan minat untuk membantu, namun ketidakpastian masih menyelimuti.
Sekitar 30.000 hingga 40.000 tenaga kerja di sektor bantuan telah kehilangan pekerjaan akibat pemotongan ini.
Kondisi paling memprihatinkan dialami oleh para pengungsi Rohingya yang tinggal di kamp-kamp pengungsian kumuh sejak 2017.
Sebagian besar bantuan AS kepada mereka selama ini disalurkan melalui WHO dan UNICEF.
Menghadapi tantangan besar ini, sistem kesehatan Bangladesh kini berada di titik kritis.
Dukungan internasional menjadi krusial untuk mencegah runtuhnya layanan kesehatan dasar di negara tersebut.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]