WAHANANEWS.CO, Jakarta - Setelah bertahun-tahun memanas, ketegangan dalam perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China mulai menunjukkan tanda mereda.
Kedua negara sepakat memangkas tarif impor secara besar-besaran, dalam perjanjian mengejutkan yang tercapai pada Senin (12/5/2025).
Baca Juga:
Polres Majalengka Bekuk Pelaku Pencurian Komputer, Salah Satunya Residivis
Berdasarkan kesepakatan tersebut, tarif impor AS terhadap produk asal China diturunkan dari 145% menjadi 30%.
Sementara itu, China juga memangkas tarifnya terhadap barang-barang dari AS, dari 125% menjadi hanya 10%. Keringanan tarif ini akan berlaku selama 90 hari ke depan sebagai masa transisi.
Presiden AS, Donald Trump, menyambut gembira perjanjian ini. Ia mengklaim hasil ini membuktikan bahwa strategi tarif agresifnya efektif.
Baca Juga:
Aksi Brutal, Toko Citra Kado Mart Diacak-acak
"China sepakat membuka pasar mereka sepenuhnya. Ini akan sangat bagus, baik bagi China maupun bagi kami," kata Trump di Gedung Putih, dikutip dari Reuters pada Selasa (13/4/2025).
Trump menyebut kesepakatan ini sebagai “langkah awal” menuju keseimbangan perdagangan jangka panjang antara kedua negara.
Namun, Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, memberi catatan bahwa proses normalisasi hubungan dagang dengan China akan memakan waktu lama.
"Mungkin butuh bertahun-tahun untuk benar-benar mengatur ulang semuanya," ujarnya.
Di sisi lain, media pemerintah China seperti CCTV menyatakan bahwa Beijing tetap teguh pada prinsip-prinsip dasarnya, namun terbuka terhadap perluasan kerja sama ekonomi dengan AS.
“Hubungan dagang China-AS memiliki dasar yang kuat, potensi besar, dan peluang kerja sama yang luas,” kata CCTV dalam komentar resminya.
Selama perang dagang berlangsung, nilai perdagangan antara AS dan China yang terdampak mencapai hampir US$600 miliar.
Ketegangan ini telah memicu kekacauan rantai pasok global, ancaman stagflasi, hingga gelombang pemutusan hubungan kerja di berbagai sektor industri.
Sebelum kesepakatan ini, Trump sempat menaikkan tarif terhadap produk China secara ekstrem, mencapai 145%, sebagai bagian dari kebijakan proteksionisnya.
China merespons dengan menaikkan tarif balasan hingga 125%, serta membatasi ekspor tanah jarang, komponen penting dalam teknologi tinggi dan industri pertahanan.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]