WAHANANEWS.CO, Jakarta - Ketegangan geopolitik antara dua raksasa dunia, Amerika Serikat dan China, kembali memanas dengan implikasi yang semakin meresahkan sektor industri global.
Ketika dua negara saling melontarkan kebijakan dagang yang keras, dampaknya tak hanya terasa di panggung diplomasi, tapi juga langsung menghantam perusahaan-perusahaan teknologi, termasuk Tesla yang kini menjadi korban terbaru dalam pusaran konflik ini.
Baca Juga:
China Siap-siap Hantam Negara yang Kompak dengan AS, Begini Ancamannya
“Kita sedang menyaksikan bagaimana keputusan politik langsung mengguncang fondasi bisnis teknologi,” kata analis geopolitik industri, Amanda Lin, kepada Global Tech Monitor.
Perang dagang yang kian sengit antara Amerika Serikat (AS) dan China memberikan pukulan telak terhadap bisnis raksasa teknologi yang sangat bergantung pada fasilitas produksi dan pasokan komponen dari negeri Tirai Bambu.
Tesla, sebagai salah satu pemain utama industri otomotif dan teknologi, menjadi korban besar dalam konflik ini.
Baca Juga:
Mengaku sebagai Tuan Setan, Pria AS Ini Ancam Bunuh Trump dan Elon Musk
“Bagi perusahaan seperti Tesla, ketergantungan pada rantai pasok lintas negara bukan sekadar risiko bisnis, tapi soal hidup dan mati,” ujar ekonom senior Jeffrey Hwang dari Stanford Trade Institute.
Sepanjang tahun 2025, saham Tesla sudah merosot hingga 33,89%.
Penurunan tajam ini bukan hanya dipicu oleh perang dagang, tetapi juga dipicu oleh gelombang boikot terhadap Tesla setelah CEO-nya, Elon Musk, menerima posisi penting di pemerintahan Presiden Donald Trump sebagai Kepala Lembaga Efisiensi Pemerintah (DOGE).
Keputusan ini menuai kontroversi dan berdampak langsung pada persepsi publik serta investor terhadap Tesla.
“Saya tahu keputusan ini tidak populer di sebagian kalangan,” ujar Musk dalam wawancara daring bulan lalu, “tapi saya percaya pada efisiensi dan reformasi pemerintahan.”
Namun di tengah tekanan tersebut, saham Tesla sempat melonjak 5,37% dalam perdagangan yang ditutup Rabu (23/4/2025) waktu setempat, setelah Musk merilis laporan kinerja kuartal pertama (Q1) yang dianggap cukup positif.
Meski demikian, Elon Musk tidak menampik bahwa perang dagang antara AS dan China telah menciptakan tantangan serius bagi Tesla, khususnya dalam pengembangan robot humanoid Optimus yang tergantung pada pasokan magnet tanah jarang dari China.
"China ingin ada jaminan bahwa magnet tanah jarang mereka tidak digunakan untuk kepentingan militer AS. Tentu saja kami tidak menggunakannya untuk tujuan militer.
Magnet itu kami pakai untuk robot humanoid," ungkap Musk dalam laporan kinerjanya, seperti dikutip dari Reuters pada Kamis (24/4/2025). Musk pun menegaskan bahwa robot Optimus buatan Tesla tidak dirancang untuk menjadi senjata.
Sebagaimana diketahui, pada bulan ini China resmi memberlakukan pembatasan ekspor magnet tanah jarang sebagai tanggapan atas kebijakan tarif tinggi yang diberlakukan oleh pemerintahan Trump.
Trump sendiri telah menetapkan tarif impor hingga 145% untuk barang dari China, sementara China membalas dengan tarif 125% terhadap barang dari AS.
Magnet tanah jarang merupakan komponen penting dalam berbagai aplikasi, termasuk pembuatan senjata, perangkat elektronik canggih, dan mesin industri lainnya.
Oleh karena itu, pembatasan ini menjadi isu strategis yang mengancam banyak sektor.
Lebih lanjut, analis menyatakan bahwa larangan ekspor dari China tidak hanya mencakup bahan mentah magnet dan mineral tanah jarang, tapi juga produk akhir yang memiliki tingkat substitusi rendah.
Eksportir China kini diwajibkan untuk mengajukan lisensi ke Kementerian Perdagangan jika ingin mengekspor produk tersebut ke AS, dengan proses perizinan yang kompleks dan memakan waktu antara enam hingga beberapa bulan.
Dalam situasi yang menantang ini, Musk menyatakan bahwa Tesla tetap menargetkan produksi ribuan robot humanoid Optimus sepanjang tahun 2025.
“Kami tidak akan menyerah. Ini bukan sekadar proyek teknologi—ini adalah masa depan interaksi manusia dan mesin,” tegasnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]