WahanaNews.co | Ancaman penangguhan pasokan gas Rusia ke Eropa kian nyata. Baru-baru ini Moskow memutuskan untuk menghentikan aliran gasnya ke Bulgaria dan Polandia.
Hal ini dilakukan Rusia lantaran penolakan Warsawa dan Sofia untuk membayar gas tersebut dengan mata uang rubel. Permintaan ini sendiri diajukan oleh Rusia lantaran aksesnya terhadap devisa yang ditangguhkan akibat sanksi Barat yang dijatuhkan karena serangan Moskow ke Ukraina.
Baca Juga:
Ini 5 Negara Tidak Pernah Dijajah, Ada Tetangga Indonesia
Hal ini mulai memicu kekhawatiran di wilayah Benua Biru bahwa Rusia mungkin saja memutus aliran gasnya ke semua negara. Pasalnya, Eropa mendapatkan 40% pasokan gasnya dari Rusia. Tahun lalu Moskow mengirim sekitar 155 miliar meter kubik (bcm) ke wilayah itu.
Lalu apa yang akan terjadi bila Rusia benar-benar memotong aliran gasnya?
Beberapa ekonom telah memperingatkan bahwa akan timbul resesi yang cukup tajam bila hal ini dilakukan. Mereka menyebut negara yang akan sangat terdampak oleh hal ini adalah Jerman, yang notabenenya ekonomi terbesar di Benua Biru.
Baca Juga:
Hasil Survei: Warga Eropa Tak Yakin Ukraina Bisa Taklukkan Rusia
"Jika pasokan gas diputus, ekonomi Jerman akan mengalami resesi yang tajam. Dalam hal kebijakan ekonomi, penting untuk mendukung struktur produksi yang dapat dipasarkan tanpa menghentikan perubahan struktural," kata Stefan Kooths, wakil presiden dan direktur riset untuk siklus bisnis dan pertumbuhan di Kiel Institute seperti dikutip CNBC International, Kamis.
"Perubahan ini akan mempercepat industri padat gas bahkan tanpa boikot, karena ketergantungan pada pasokan Rusia, yang telah tersedia dengan harga yang menguntungkan hingga saat ini, bagaimanapun juga harus diatasi dengan cepat."
Sebelumnya, Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan awal bulan ini bahwa kawasan euro akan tumbuh 2,8% di 2022. Ini 1 poin persentase lebih rendah dari perkiraan sebelumnya yang dibuat sebelum Rusia menginvasi Ukraina.
"Gas Rusia itu berbeda. Tantangannya (bila diputus) jauh lebih besar," kata CEO UBS Ralph Hamers.
"Itu benar-benar karena sebagian besar industri bergantung pada gas sebagai komoditas dasar untuk membuat produk mereka ... jadi itulah yang dapat menyebabkan efek turunan, khususnya dalam ekonomi Eropa."
Meski begitu, untuk mengantisipasi hal ini, Eropa saat ini cukup intens untuk mencari sumber gas lain serta sumber energi lainnya selain gas.
Norwegia, yang merupakan produsen gas alam terbesar di Eropa, mengatakan bahwa pihaknya akan melakukan peningkatan produksi. Dari seberang samudra, Amerika Serikat (AS) menyatakan akan bekerja untuk menyuplai 15 bcm ke Eropa.
Untuk wilayah Selatan Eropa akan dibantu oleh jaringan distribusi gas dari Azerbaijan. Gas itu akan disalurkan melalui pipa Trans Adriatik ke Italia dan Pipa Gas Alam Trans-Anatolia (TANAP) melalui Turki.
Selain itu, Uni Eropa (UE) juga sedang mencari pasokan gas dari Qatar. Brussels memprediksi bila pasoka gas Qatar dan AS digabungkan, maka mereka akan mendapat 60 bcm per tahunnya.
Sementara itu, terkait sumber energi selain gas, beberapa negara telah menyiasati hal ini dengan beralih ke impor listrik, meningkatkan pembangkit listrik nuklir, membangun pusat energi terbarukan, dan juga memperpanjang masa beroperasinya pembangkit batu bara. [qnt]