WAHANANEWS.CO, Jakarta - Ledakan pernyataan datang dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang secara terbuka mengklaim bahwa Washington mengetahui Hamas sedang mempersenjatai kembali kekuatannya di Gaza.
Ia bahkan menyebut bahwa ada persetujuan AS dalam batas waktu tertentu terkait hal tersebut menurut pernyataannya saat berbicara di pesawat Air Force One menuju Israel, Senin (13/10/2025).
Baca Juga:
PBB Dorong Akses Penuh ke Gaza, Puluhan Negara Siap Kirim Bantuan
Trump menjawab pertanyaan jurnalis tentang laporan bahwa Hamas mulai membentuk diri sebagai pasukan polisi Palestina dan berusaha mengontrol wilayah setelah perang berkepanjangan.
"Mereka telah terbuka tentang hal itu dan kami memberi mereka persetujuan untuk jangka waktu tertentu," tegas Trump yang menambahkan bahwa Hamas disebut telah kehilangan hingga 60.000 orang, yang ia sebut sebagai bentuk pembalasan besar-besaran.
Mengutip data Kementerian Kesehatan Gaza, korban jiwa akibat serangan Israel telah melampaui 67.000 orang, termasuk lebih dari 20.000 anak, dan kondisi wilayah itu kini digambarkan Trump sebagai "benar-benar hancur" sehingga ia menilai proses pemulangan warga harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah potensi bahaya baru setelah kehancuran besar terjadi selama agresi militer.
Baca Juga:
Pemimpin Hamas Minta Jaminan Nyata untuk Akhiri Perang Israel di Gaza
Trump mengatakan AS ingin memastikan penduduk Gaza yang kembali dapat membangun ulang kehidupan mereka dengan aman dan menegaskan bahwa situasi yang rapuh bisa memicu "banyak hal buruk" jika tidak dikendalikan dengan cara yang sistematis dan terukur.
Isu pelucutan senjata Hamas disebut masih menjadi batu sandungan dalam negosiasi gencatan senjata, dengan para mediator belum sepakat mengenai mekanisme dan waktu pelaksanaan pelucutan senjata yang menjadi syarat utama pihak-pihak yang terlibat konflik untuk menandatangani kesepakatan damai.
Sebelumnya, berbicara kepada wartawan, Trump memuji peran Qatar yang ia sebut memainkan peran "luar biasa" dalam proses negosiasi Gaza dan menilai Emir Qatar menunjukkan keberanian politik untuk menengahi konflik di tengah risiko besar bagi stabilitas regional.