Blok ekonomi BRICS, yang saat ini beranggotakan sepuluh negara dan menyumbang sekitar 36% dari PDB global, telah mempercepat upaya mengurangi ketergantungan terhadap mata uang Barat dalam perdagangan bilateral.
Langkah ini semakin intensif setelah sanksi ekonomi besar-besaran dijatuhkan terhadap Rusia pasca eskalasi konflik di Ukraina tahun 2022.
Baca Juga:
Juru Bicara Kemenlu Qatar: Situasi Pascakonflik Gaza Perlu Upaya Kolektif Internasional
Meskipun ada spekulasi tentang penciptaan mata uang bersama, sebagian besar negara anggota BRICS membantah adanya pembahasan konkret mengenai hal tersebut.
Namun, negara-negara BRICS telah aktif meningkatkan penggunaan mata uang nasional masing-masing dalam perdagangan untuk memperkuat kedaulatan ekonomi mereka.
Beberapa negara BRICS, termasuk Rusia, menuduh AS justru melemahkan nilai dolar dengan mempolitisasi mata uang tersebut melalui kebijakan sanksi.
Baca Juga:
Presiden Trump Konfirmasi Bom Seberat 2.000 pon Dalam Perjalanan Menuju Israel
Menjelang pertemuan Menteri Luar Negeri G20 di Afrika Selatan pada 20-21 Februari, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menekankan bahwa forum tersebut akan menyatukan "negara-negara BRICS yang berpikiran sama dan negara-negara lain di Global Selatan dan Timur" untuk mendorong kerja sama produktif.
Sementara itu, AS memilih untuk tidak menghadiri pertemuan tersebut. Menteri Luar Negeri Marco Rubio beralasan bahwa Afrika Selatan "melakukan hal-hal yang sangat buruk" dengan mendorong agenda solidaritas, kesetaraan, dan keberlanjutan di G20.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.