WahanaNews.co | Presiden Tunisia, Kais Saied, mengumumkan rencana amandemen konstitusi dan membentuk pemerintahan baru.
Rencana ini disampaikan beberapa bulan setelah dirinya memecat Perdana Menteri Hichem Mechichi dan menangguhkan parlemen, dalam gerakan yang disebut pengkritiknya sebagai kudeta.
Baca Juga:
Jelang Ramadan 2024, Impor Kurma ke Indonesia Meningkat
Pada Sabtu (11/9) lalu, Saied mengatakan dia akan 'sesegera mungkin' membentuk pemerintahan baru, setelah memilih 'orang-orang dengan integritas paling tinggi'. Meski begitu, Saied tak menjelaskan detail terkait kapan rencananya itu akan diwujudkan.
"Rakyat Tunisia menolak konstitusi," katanya, sambil menambahkan bahwa aturan tersebut tidak abadi.
"Kami bisa memperkenalkan amandemen," imbuhnya kepada dua stasiun TV, seperti dilansir AFP dan Al Jazeera, Minggu (12/9/2021).
Baca Juga:
Oposisi Boikot Pemilu Tunisia, Hanya 9 Persen Pemilih Berikan Suara
Pada Kamis (9/9), salah satu penasihat Saied mengatakan kepada Kantor berita Reuters bahwa sang presiden berencana untuk menangguhkan konstitusi dan menawarkan versi amandemen melalui referendum, yang mendorong oposisi dari partai politik dan serikat buruh UGTT yang kuat.
Sebelumnya, Saied juga mengambil alih otoritas eksekutif setelah memecat Perdana Menteri Hicham Mechichi. Eskalasi politik terjadi setelah ribuan warga Tunisia turun ke jalan memprotes penanganan pandemi COVID-19. Demonstrasi tersebut kemudian berakhir ricuh.
Presiden Saied juga mengumumkan pembekuan parlemen Tunisia selama 30 hari dan menangguhkan kekebalan semua deputi. Dia mengklaim langkahnya itu diperbolehkan dalam kasus "bahaya yang akan segera terjadi" berdasarkan Pasal 80 konstitusi Tunisia.
"Konstitusi tidak mengizinkan pembubaran parlemen, tetapi mengizinkan pekerjaannya ditangguhkan," kata Saied.
Saied, yang terpilih sebagai Presiden Tunisia pada akhir 2019, mengklaim dirinya sebagai penafsir utama konstitusi. Langkahnya pun mendapat kritik oleh para hakim dan lawan politiknya, khususnya partai Ennahdha yang terinspirasi Islam, blok terbesar di parlemen.
Awal bulan ini, para diplomat dari negara-negara G7 - Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, dan AS - meminta Saied mengembalikan Tunisia ke "tatanan konstitusional" dan mendesaknya untuk menyampaikan jalan yang jelas ke depan terkait masa depan negaranya. [rin]