WAHANANEWS.CO, Jakarta - Sejumlah maskapai penerbangan internasional tengah mengevaluasi ulang operasi mereka di kawasan Timur Tengah pasca serangan Amerika Serikat terhadap fasilitas nuklir Iran.
Tindakan tersebut memicu eskalasi ketegangan regional dan meningkatkan kekhawatiran terhadap keselamatan penerbangan.
Baca Juga:
Resmi! Veronica Tan Jadi Komisaris Citilink, Ini Sosok-Sosok Baru Pengendali Maskapai
Situasi memanas setelah Israel melakukan serangan udara ke wilayah Iran pada 13 Juni 2025, yang kemudian dibalas oleh Teheran.
Wilayah udara Iran, Irak, hingga kawasan Mediterania yang biasanya menjadi jalur sibuk penerbangan komersial kini menjadi lebih lengang.
Laporan Reuters menyebutkan bahwa selama lebih dari sepuluh hari terakhir, aktivitas penerbangan di kawasan itu menurun drastis.
Baca Juga:
Aturan Tak Tertulis Soal Pakaian Saat Terbang: Hindari Ini Demi Kenyamanan & Keamanan
Beberapa maskapai memutuskan untuk menghentikan sementara layanan mereka, mengalihkan rute, atau menjadwalkan ulang penerbangan akibat penutupan wilayah udara dan meningkatnya risiko keamanan.
Bandara besar seperti Dubai dan Doha ikut merasakan dampak langsung dari krisis ini.
Meski belum sepenuhnya aman, sejumlah maskapai sudah mulai membuka kembali penerbangan mereka secara terbatas.
Singapore Airlines, yang sebelumnya menghentikan penerbangan ke Dubai, telah kembali mengoperasikan rute tersebut mulai Senin (23/6/2025).
Begitu pula dengan British Airways yang menjadwalkan ulang layanan mereka ke Dubai dan Doha setelah sempat dibatalkan.
Namun demikian, Air France KLM masih menghentikan layanan ke Dubai dan Riyadh karena faktor keamanan. Kawasan Timur Tengah kini menjadi jalur penting antara Eropa dan Asia, menyusul ditutupnya wilayah udara Rusia dan Ukraina.
Dengan adanya konflik ini, maskapai terpaksa memutar jalur penerbangan ke arah utara melalui Laut Kaspia atau ke selatan melewati Mesir dan Arab Saudi.
Pergeseran jalur tersebut berdampak pada meningkatnya konsumsi bahan bakar serta biaya operasional kru.
Ketegangan ini juga memicu prediksi kenaikan harga minyak global yang tentu berdampak langsung pada biaya bahan bakar penerbangan.
Ancaman keselamatan lainnya muncul dari potensi serangan udara dan gangguan sinyal navigasi.
Menurut Flightradar24, terjadi lonjakan insiden jamming dan spoofing GPS yang signifikan di atas wilayah Teluk Persia, di mana sinyal pesawat dialihkan dari jalurnya.
SkAI, pemantau sinyal asal Swiss, mencatat lebih dari 150 insiden spoofing dalam 24 jam terakhir.
Negara-negara seperti Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab kini menghadapi risiko tambahan dalam operasional penerbangan mereka.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]