WahanaNews.co, Jakarta - Seribu hari pertama kehidupan (1000 HPK), yang merupakan fase penting dalam tumbuh kembang anak. Masa ini sekaligus menjadi fase berat bagi orang tua, terutama ibu, sehingga sangat diperlukan dukungan dari suami dan keluarga. Ibu, selain harus memastikan kecukupan ASI nya, juga baru pulih dari situasi pasca melahirkan, yang tentunya melelahkan fisik dan mental, kata dr. Agnes Tri Harjaningrum, seorang dokter spesialis anak dari Rumah Sakit Permata Depok.
Dokter yang juga aktif mengedukasi melalui sosial media ini melihat ada perilaku dan persepsi masyarakat tentang ASI yang perlu dibenahi.
Baca Juga:
Pemkab Dairi Siap Dukung Gugus Tugas Polri Sukseskan Ketahanan Pangan
"Kurangnya dukungan dari pasangan dan juga keluarga, serta mitos-mitos salah yang masih dipercaya di masyarakat, membuat ibu kadang menjadi tidak percaya diri, mendapat tekanan, tidak didukung, dan tidak diperhatikan kesehatan mentalnya, sehingga membuat program ASI eksklusif terhambat," Ujar dr Agnes saat ditemui di rumahnya, Jumat (19/01/24).
Ia melanjutkan, ASI sudah pasti yang terbaik, dan merupakan zat gizi utama yang harus diberikan untuk anak pada masa awal kelahiran. Namun, tidak semua ibu beruntung diberi kemudahan memberikan ASI.
Ada beberapa keadaan yang membuat pemberian ASI menjadi terkendala, misalnya sang ibu harus mengonsumsi obat tertentu, ibu mengalami pendarahan pasca persalinan yang membuat ibu harus masuk ICU, atau ibu mengidap penyakit tertentu yang bisa menular ke bayinya baik secara langsung atau melalui ASI.
Baca Juga:
Polsek Bagan Sinembah Gelar Kegiatan Launching Gugus Tugas Polri dan Ketapang.
Kondisi bayi pun kadang membuat proses menyusui ASI terhambat, misalnya bayi yang lahir prematur dan harus dirawat di NICU, bayi harus terpisah dari ibu, atau bayi memiliki penyakit metabolik sehingga pemberian ASI terkendala.
"Sebetulnya kita semua sepakat ya bahwa ASI adalah yang terbaik. Tetapi sekali lagi bahwa dunia ini gak hitam putih, ada abu-abunya, ada kondisi tertentu dimana seorang ibu memang tidak mampu memberikan ASI, yang juga harus kita maklumi dan diberikan solusi, bukan lalu mengatai bahwa ibu tersebut bukan ibu yang baik," ujar dokter Agnes.
Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran yang menamatkan spesialisasinya di Universitas Indonesia dan juga alumni Charite Medical School (Berlin-Jerman) & ISPED ini menjelaskan bahwa permasalahan pemberian ASI di Indonesia cukup kompleks.
Diluar dari kondisi medis, tidak jarang pemberian ASI menjadi terhambat akibat kurangnya dukungan suami dan keluarga, kurangnya pengetahuan ibu dalam memberikan ASI, dan kepercayaan turun temurun yang masih diyakini padahal salah.
Contohnya, suami tidak mendampingi ibu sejak awal kehamilan sampai melahirkan, sehingga ibu merasa sendirian, atau bahkan ditinggal sendirian sehingga ibu stress dan ASI tidak keluar.
Mertua atau keluarga terdekat pun menuntut ibu harus sempurna atau terlalu banyak ikut campur sehingga membuat ibu tertekan.
Sering juga terjadi sindrom asi kurang, dimana ibu merasa ASInya kurang, lalu mertua atau orang tua langsung meminta untuk memberikan susu formula. Padahal sangat normal ASI di 3 hari pertama belum banyak keluar, lambung bayi pun masih sebesar bola kelereng. Selama tidak ada kondisi yang membahayakan bagi bayi seperti dehidrasi, hipoglikemia atau bayi kuning berlebihan, tidak perlu buru-buru diberi susu formula.
Situasi ibu bekerja juga menjadi penyebab pemberian ASI tidak optimal, terutama pada perempuan yang bekerja di sektor tenaga produksi atau buruh pabrik.
Meski sudah ada peraturan bahwa semua anak berhak mendapatkan ASI ekslusif dan perusahaan wajib memberikan cuti selama 3 bulan bagi ibu menyusui, kenyataannya, masih banyak perusahaan dan pabrik yang mengabaikan. Karena itu, dr. Agnes berharap pemerintah bisa lebih tegas dalam menegakkan aturan yang sudah di buat demi masa depan ibu dan anak yang lebih baik.
"Pada kenyataannya di lapangan sering sekali terjadi ibu-ibu ini hanya diberikan cuti 1 bulan, nah ini sebetulnya balik lagi ke pemerintah sih ya. Jadi kita juga tidak bisa terlalu berbuat banyak untuk masyarakat jika undang-undang yang sudah ada itu dilanggar terus. Harusnya sih pemerintahnya juga tegas, dan memberikan sangsi bagi perusahaan yang mempersulit ibu menyusui di tempat kerja," jelas Agnes.
Selain dikenal sebagai dokter spesialis anak, dr. Agnes Tri Harjaningrum, juga dikenal sebagai health content creator di beberapa kanal sosial media seperti Youtube dan Instagram.
Memakai nama pengguna @MeetdrAgnes, dr Agnes juga dikenal cukup aktif bersuara mengenai isu kesehatan, nutrisi anak dan kesejahteraan Ibu. Selain itu, dikanal youtubenya, dr Agnes dikenal juga sering memberikan tips and trick terkait kesehatan anak.
[Redaktur: Amanda Zubehor]