“Ini perlu dipelajari dengan lebih detail karena untuk mengolah kelor yang sudah ada dan juga sudah diteliti para ahli itu hanya diambil daunnya, jadi tidak boleh terikut gagangnya. Karena itu bisa mengurangi atau menetralisir khasiatnya semacam ada antidotum,” katanya.
Penelitian juga harus mengukur takaran yang sesuai dengan usia masyarakat untuk dikonsumsi.
Baca Juga:
7 Manfaat Daun Kelor untuk Kesehatan: Meringankan Diabetes hingga Hipertensi
Sebab, ibu hamil mempunyai takaran asupan gizinya sendiri. Termasuk apakah khasiat kelor bisa menggantikan protein hewani.
Hasto menyatakan BKKBN beserta jajaran juga sedang melakukan hal yang sama, yakni mengkampanyekan manfaat pangan lokal untuk memerangi stunting. Dimana tidak hanya kelor, BKKBN juga menggalakkan pentingnya asupan protein hewani dari telur, ikan dan beras terfortivikasi.
“Sekarang ini sebetulnya kalau kita lihat produksi kelor di Palu, NTT, Jawa Tengah di Blora, itu hampir semua sudah ekspor dan saya lihat produknya. Variabilitasnya sudah bagus lho, ada yang dibikin teh untuk diseduh, ada yang bentuk serbuk tabur yang kemudian dipakai untuk makanan. Saya kira sudah siap begitu,” ujarnya. [Tio/Ant]
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.