WAHANANEWS.CO, Jakarta - Fenomena flexing di media sosial kini tak lagi sekadar gaya hidup, tetapi bisa menjadi pintu masuk masalah psikologis ketika dilakukan tanpa kendali.
Psikolog Klinis Maria Fionna Callista menegaskan pada Rabu (3/9/2025), bahwa flexing sejatinya manusiawi selama seseorang mampu menjaga kontrol diri.
Baca Juga:
Tito Karnavian Instruksikan Pejabat Daerah Pangkas Acara Mewah dan Flexing
Namun, ia mengingatkan bahwa perilaku ini berubah menjadi tanda bahaya ketika muncul kebutuhan konstan untuk mendapatkan validasi dari orang lain.
“Bisa jadi kalau seseorang melakukannya secara berlebihan. Sebab, selama kita memiliki kontrol diri, sebenarnya flexing ini masih bisa dikatakan sebagai hal yang manusiawi,” ujar Fionna.
Flexing yang awalnya hanya sarana berbagi pencapaian bisa menjelma menjadi kebiasaan berlebihan, biasanya ditandai rasa gelisah dan dorongan kuat untuk selalu diakui.
Baca Juga:
Tito Instruksikan Kepala Daerah Tunda Semua Kegiatan Seremonial dan Pemborosan
“Kalau berlebihan sampai tidak bisa mengontrol perilaku tersebut, itu seharusnya sudah mulai hati-hati. Apalagi karena ada perasaan gelisah dan bergantung pada validasi orang lain,” jelasnya.
Perasaan tersebut dapat membuat seseorang merasa tidak berharga ketika unggahan tidak mendapat respon seperti yang diharapkan.
Fionna menambahkan, kondisi ini berpotensi memunculkan gejala awal gangguan psikologis yang berpengaruh terhadap cara seseorang memandang dirinya sendiri.
“Ketika dia tidak bisa mendapatkan validasi dari orang lain, dia akan insecure, rendah diri, dan jadi mudah cemas. Itu sebenarnya sudah gejala awal adanya gangguan perilaku,” terangnya.
Kecemasan ini membuat individu merasa tidak cukup baik tanpa pengakuan publik, sehingga menimbulkan tekanan mental berkelanjutan.
Dalam situasi lebih parah, flexing bisa berubah menjadi kecanduan dengan dorongan terus-menerus memposting konten demi menarik perhatian.
“Kalau sudah kecanduan, dia akan sering memposting sampai menunjukkan perilaku narsistik. Misalnya, merasa perlu untuk terus-menerus mendapatkan pujian hingga jadi merendahkan orang lain,” ungkap Fionna.
Kebiasaan tersebut bukan hanya berdampak pada individu, tetapi juga dapat merusak hubungan sosial dengan lingkungan sekitar.
Flexing yang terlalu berlebihan dapat menimbulkan ketidaknyamanan bagi orang lain, terutama ketika pelaku sulit menerima kritik dan hanya fokus mencari pengakuan.
“Jadi memang harus dilihat lagi seberapa jauh penyimpangan perilaku akibat flexing dan pahami seberapa mengganggunya,” tutur Fionna.
Jika lingkungan mulai merasa risih atau terganggu, itu menjadi sinyal kuat bahwa flexing sudah melewati batas wajar.
Meski demikian, Fionna mengingatkan pentingnya tidak terburu-buru melakukan self-diagnose tanpa konsultasi ke tenaga profesional.
“Jangan sampai self-diagnose, jangan sampai hanya asal kira-kira saja, tanpa mengkonsultasikan ke tenaga profesional atau psikolog profesional,” katanya.
Langkah pencegahan yang utama, menurut Fionna, adalah kesadaran diri untuk menilai apakah perilaku flexing masih wajar atau sudah menjadi masalah.
“Perlu kesadaran diri, apakah ini sudah cukup mengganggu atau belum? dan orang lain di sekitar kita sudah merasa terganggu atau tidak?” ujarnya.
Dengan kesadaran tersebut, seseorang bisa menilai batas antara ekspresi diri yang sehat dengan kebiasaan yang menimbulkan dampak negatif bagi dirinya maupun lingkungannya.
Flexing memang tidak selalu salah, tetapi jika menjadi satu-satunya sumber rasa berharga, perilaku ini berpotensi menyeret individu ke dalam gangguan psikologis.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]