WahanaNews.co | Menurut dr. Decsa Medika Hertanto, SpPD, penyakit diabetes yang dulu didominasi usia tua, sekarang sudah mulai menyerang kalangan muda.
Buktinya ada beberapa remaja berusia 15 tahun yang sudah menderita diabetes hingga akhirnya harus melakukan cuci darah pada usia 23 tahun.
Baca Juga:
Jenis Olahraga yang Tepat untuk Penderita Diabetes
Menurut Decsa, penyebabnya banyak faktor. Bisa dari pola asumsi makanan yang sarat karbohidrat, minim protein, minim serat, sayur, dan buah.
“Mungkin asupan makannya terbiasa dengan pola yang dia bawa sejak kecil, enggak suka sayur, enggak suka buah, maunya cuma yang asin-asin, yang manis-manis,” kata dokter dari Yayasan Rumah Sakit Darmo Surabaya tersebut seperti yang diberitakan di VOI, Rabu (22/2/2023).
Bisa juga karena faktor gangguan tumbuh kembang semasa kecil.
Baca Juga:
Peringatan YLKI: Soda dan Teh Manis Kemasan Ancam Kesehatan, Cukai Dinilai Efektif
Anak yang pernah mengalami kurang gizi biasanya lebih rentan mengalami gangguan kesehatan dalam masa pertumbuhannya. Apalagi bila tidak ditunjang aktivitas fisik.
Lebih banyak duduk, malas gerak, dan kurang olahraga.
“Yang paling penting lagi, mungkin genetik dari keturunan. Ini bisa menjadi penyebab. Kalau orangtua mengalami diabetes, anak juga sangat berpotensi mengalami penyakit serupa,” tuturnya.
Tentunya, itu merupakan realitas yang sangat membahayakan. Data International Diabetes Federation (IDF) saja menyebut jumlah penderita diabetes terus meningkat.
Dari hanya 7,29 juta jiwa pada 2011 menjadi 19,47 juta jiwa pada 2021.
Bahkan, kemungkinan besar akan meningkat hingga 47 persen mencapai 28,57 juta jiwa pada 2045. Ini, menurut Decsa sangat mungkin terjadi.
Sebab, gaya hidup masyarakat, khususnya kalangan muda sudah jauh bergeser saat ini. Lebih berdampak negatif terhadap kesehatan
Lihat anak-anak yang lebih senang duduk diam bermain gadget ketimbang melakukan aktivitas fisik main bersama teman-temannya. Kalangan muda dan dewasa pun serupa.
“Lebih senang melihat handphone, media sosial, mudah mengikuti tren yang tidak sehat. Senang mengonsumsi produk-produk minuman manis yang memang masif berpromosi. Bahkan, minuman manis sekarang seolah sudah jadi gaya hidup. Bisa 2-3 cup setiap hari, belum lagi makanan-makanan instan,” kata Decsa.
Padahal, asupan gula tambahan ideal untuk tubuh hanya 25-50 gram atau sekitar 8-10 sendok teh setiap hari.
“Sebaiknya bahkan kurang dari itu. Lihat minuman-minuman manis yang digemari saat ini, berapa kandungan gulanya. Ya, kalau perilaku ini diiringi dengan kebiasaan buruk lainnya, seperti merokok, tidur kurang dari 7 jam setiap hari, pasti lebih cepat diabetes,” lanjutnya.
Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan Journal of Diabetes Investigation, seseorang yang rutin mengonsumsi minuman manis memiliki risiko 25 persen lebih besar terjangkit diabetes.
Diabetes adalah penyakit mematikan nomor 3 di Indonesia menurut WHO dengan angka kematian mencapai 40,78 per 100 ribu jiwa. Gejala utama lazimnya sering buang air kecil, cepat merasa lapar, dan sering merasa haus.
Gejala tambahan bisa terjadi penurunan berat badan secara cepat tanpa penyebab jelas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, cepat lelah, dan mudah mengantuk.
“Jadi, peduli lah terhadap diri sendiri. Mulai terapkan gaya hidup sehat dengan berolahraga. Lakukan secara bertahap mulai dari 15-30 menit setiap hari, lalu tingkatkan jadi 1 jam setiap hari. Lalu, selektif lah memilih makanan yang baik untuk tubuh kita,” ucapnya.
Decsa menilai pemerintah dan para pemangku kebijakan sudah saatnya kembali membuat dan melaksanakan program-program memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat.
Seperti dahulu, mewajibkan pelajar untuk melakukan gerak tubuh setiap hari sebelum memulai pelajaran.
“Dulu ada senam kesegaran jasmani. Mau enggak mau semua siswa wajib ikut. Ini program sangat bagus, simpel. Secara tidak langsung ini cara menanamkan pola hidup sehat terhadap anak.
Seperti dilansir dari laman Ruang Guru PAUD Kemendikbud Ristek. Saat aktif bergerak, otot dan tulang anak akan berkembang lebih kuat. Apalagi jika anak bergerak aktif ketika pagi hari, karena bisa mendapatkan asupan vitamin D dari sinar matahari. Metabolisme tubuh juga menjadi lebih baik. Tubuh akan lebih lancar menyerap nutrisi.
Sejumlah penelitian juga menyebut anak yang rajin berolahraga atau aktif secara fisik cenderung memiliki kemampuan mengingat lebih tinggi. Anak juga lebih mudah menyerap materi pelajaran yang diajarkan.
"Olahraga mampu meningkatkan aliran darah ke otak dan membuat volume otak menjadi lebih besar. Hasilnya otak anak memiliki kemampuan yang tinggi untuk menyerap apa saja yang diajarkan di lingkungan sekitarnya. Kemampuan kognitif mereka pun juga ikut berkembang ketika tubuh mereka sehat dan bugar," kata Laura Chaddock Heyman, peneliti dari Illinois University seperti dilansir dari Dailymail.
Program itu juga juga bisa diterapkan di perusahaan. Tinggal mekanismenya saja seperti apa nanti.
“Jadi karyawan jangan cuma duduk terus setiap hari. Terbiasa duduk lebih dari 10 jam setiap hari sangat berbahaya bagi kesehatan. Kita menyebutnya sitting desease, bisa meningkatkan risiko penyakit-penyakit komorbid, seperti diabetes, hipertensi, dan stroke. Semuanya penyakit mematikan,” tutur Decsa.
Selain bisa membuat tubuh terasa lebih bugar dan sehat, berolahraga juga bermanfaat untuk kesehatan mental, bahkan mempengaruhi produktivitas seseorang. Olahraga secara teratur nyatanya terbukti bisa memberikan efek positif seperti meningkatkan konsentrasi, meningkatkan kreativitas, memperbaiki mood, hingga mengurangi stres.
“Yang tak kalah penting, promosi kesehatan harus terus didengungkan. Konten-konten kesehatan jangan terlalu kaku. Tidak boleh kalah dengan iklan-iklan minuman manis,” ujarnya.
“Ini PR kita semua. Di level individu tugas kita bersama untuk menjaga kesehatan tubuh kita. Di level masyarakat, pemerintah dan para pemangku kebijakan harus membuat aturan dan program yang baik untuk mencegah itu semua,” kata Decsa menandaskan.
Generasi muda harus sehat agar Indonesia bisa mewujudkan mimpi menjadi bangsa yang maju dan kuat. [Tio]