2. Takut
Pelaku KDRT umumnya bertindak dengan mengancam atau memaksa pasangannya, bahkan juga orang terdekat termasuk anak. Oleh karenanya, korban akan merelakan pilihan untuk tetap tinggal agar menyelamatkan diri serta orang terdekatnya.
3. Kontrol Psikologis atau Cuci Otak
Pelaku KDRT melalukan berbagai upaya dan janji manis untuk menyakinan pasanganya. Ini disebut juga dengan pelecehan emosional atau kontrol paksaan agar korban percaya bahwa satu-satunya yang mencintai dan dapat menjaganya adalah pelaku.
Baca Juga:
KDRT di Paser Kaltim, Suami Mutilasi Istri dan Tunjukin ke Tetangga
Mungkinkah Pelaku KDRT Jera?
KDRT agaknya bermula dari kebiasaan perilaku buruk seseorang yang sudah mendarah daging dan sulit untuk dikendalikan. Tak heran psikolog berpesan bahwa pelaku KDRT perlu mendapatkan treatment khusus agar bisa 'tobat'. Sebab, kekerasan itu tidak hanya sekadar emosi atau ekspresi marah saja yang salah, tetapi cara berpikirnya juga perlu diluruskan.
"Rata-rata berpikirnya dia yang selalu merasa betul atau itu adalah cara dia membungkus rasa tidak percaya dirinya, rasa takutnya, seperti takut kehilangan pasangan, takut direndahkan, takut tidak dihargai dan sebagainya," jelas psikolog klinis, Anastasia Sari Dewi dikutip dari detikcom, Minggu (16/10/2022).
"Dengan cara dia marah supaya pihak lain itu takut sama dia. Nggak berani melukai dia atau nggak berani macam-macam," lanjutnya.
Baca Juga:
Ketua DPW Relawan Martabat Provinsi Jambi Ucapkan Selamat atas Pelantikan Prabowo-Gibran
Dengan demikian, si pelaku perlu dilatih untuk mengendalikan ledakan emosinya dan mengatasi cara berpikirnya yang salah. Lebih lanjut, ia mengatakan pelaku punya peluang untuk melakukan kekerasan lagi bila ada kesempatan.
"Karena kalau kapok sama laporan kepolisian, tapi jika dia lihat ada kesempatan pada korban yang memungkinkan bisa lagi menjadi lampiasannya, dia itu akan terjadi lagi (kekerasan)," tegas Sari.
"Karena aslinya dari dalam, dari respons emosinya yang pertama kali atau lagi emosional. Jangankan berpikir konsekuensi panjang, sudah jelas pasti penyesalan belakangan. Jadi, kita latih emosinya itu supaya tidak menimbulkan kekerasan, supaya tidak ada konsekuensi selanjutnya," jelasnya.[gab]