WahanaNews.co | Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau KLHK RI memerintahkan pemanggilan kepada perusahaan farmasi yang ada di Jakarta.
Pemanggilan ini untuk menindaklanjuti temuan adanya kontaminasi parasetamol di perairan Teluk Jakarta yang baru menjadi sorotan.
Baca Juga:
Pencemaran Paracetamol di Sungai Citarum 2 Kali Lipat Lebih Tinggi dari Teluk Jakarta
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) KLHK, Rosa Vivien Ratnawati, mengatakan, pihaknya akan memerintahkan jajarannya untuk mengecek pengelolaan obat kedaluwarsa di perusahaan farmasi di wilayah Jakarta.
Ia menyebut ada sekitar 27 perusahaan farmasi yang berdiri di Ibu Kota.
”Perusahaan ini akan dipanggil dan dicek bagaimana pengelolaan limbah dan obat-obatan bekas yang sudah kedaluwarsa. Obat-obatan itu akan menjadi limbah B3 sehingga pengelolaannya khusus,” katanya, dalam webinar Limbah Farmasetika di Perairan Teluk Jakarta, Selasa (5/10/2021).
Baca Juga:
Cemari Laut Jakarta dengan Paracetamol, 2 Perusahaan Ini Belum Diberi Sanksi
Arahan itu dilakukan untuk menelusuri sumber kontaminasi parasetamol di perairan Teluk Jakarta yang ditemukan peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Universitas Brighton, Inggris.
Eksperimen laboratorium dalam studi itu menunjukkan kandungan parasetamol berefek pada sistem reproduksi dan ekspresi gen kerang biru.
Studi sejak 2017 itu mencatat kandungan parasetamol tinggi pada sampel air laut di wilayah Angke dan Ancol, dengan kadar masing-masing 610 nanogram per liter dan 420 nanogram per liter.
Adapun kandungan parasetamol di titik lainnya, yaitu Tanjung Priok dan Cilincing, tidak terdeteksi karena kandungannya rendah.
Rosa memastikan bahan kimia itu sangat kecil kemungkinannya untuk mengganggu kesehatan, bahkan mematikan, terutama bagi manusia.
Namun, ia mengatakan, parasetamol bisa menjadi bahan pencemar baru yang perlu diawasi lebih jauh.
Untuk itu, KLHK dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta menggandeng peneliti BRIN untuk membentuk Working Group Emerging Polutan.
Kelompok kerja akan mempelajari kontaminan lingkungan, seperti parasetamol dan bahan kimia lain yang sebelumnya belum menjadi perhatian, seperti plastik dan antibiotik.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala DLH DKI Jakarta, Syaripudin, secara terpisah mengatakan, bahan seperti parasetamol belum dimasukkan sebagai kontaminan air laut yang dinilai baku mutunya.
Sementara itu, DLH DKI Jakarta secara rutin memantau kualitas air laut minimal per enam bulan sekali.
Pemantauan ini memperhatikan 38 parameter baku mutu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup lampiran VIII.
”Parasetamol merupakan salah satu kontaminan yang baru merebak sehingga belum ada regulasi terkait baku mutu di dunia dan baru ada di tahap kajian saintifik saja,” katanya, dalam keterangan tertulis.
Pada Sabtu (2/10/2021) lalu, DLH DKI Jakarta sudah menindaklanjuti hasil studi dengan mengambil sampel air laut di Muara Ancol dan Muara Angke.
Pengambilan sampel dilakukan untuk mengetahui apakah pencemaran masih berlangsung pascapenelitian.
Pola Konsumsi
Selain industri dan rumah sakit, masyarakat sebagai pengguna parasetamol juga dinilai perlu bertanggung jawab ketika akan membuang obat tersebut.
Apalagi, parasetamol mudah dibeli dan jamak digunakan sebagai obat pereda nyeri dan demam.
Peneliti di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Etty Riani, dalam webinar hari ini menyebut, kajian yang ada mengukur bahwa rata-rata kandungan parasetamol yang diekskresikan manusia dalam bentuk hanya 5 persen dari dosis yang dikonsumsi.
Sisa itu juga kecil kemungkinannya mengalir ke sungai hingga laut.
”Kalau lihat kajian-kajian sebelumnya, pencemaran parasetamol tidak akut. Tapi, sebaiknya jangan jadikan temuan ini business as usual karena kalau terakumulasi di lingkungan bisa menganggu pencernaan mikroorganisme, yang juga terkait dengan sistem lingkungan,” ujarnya.
Ia menilai, perubahan bisa dimulai dari masyarakat.
Konsumsi parasetamol di Indonesia belum dibatasi seperti di beberapa negara lain karena kerap disalahgunakan untuk alat percobaan bunuh diri.
Menurut Ikatan Apoteker Indonesia, yang mengutip Badan Pusat Statistik, industri farmasi nasional mengimpor 7.000 ton parasetamol per tahun.
Selain itu, masyarakat juga dinilai belum paham cara mengelola sampah farmasi.
Menurut panduan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), obat berbentuk pada baiknya dibuang dalam kemasan tertutup, obat semipadat bisa ditimbun, lalu obat cair bisa diencerkan dengan air sebelum dilepas ke saluran air yang mengalir.
”Kita harus mengubah paradigma masyarakat. Masyarakat jangan ingin serba instan, kalau sakit sedikit minum parasetamol. Lalu, sosialisasi kepada masyarakat bahwa kalau mau hidup bersih, sehat, dan nyaman, setiap individu perlu peduli lingkungan dari hal kecil seperti membuang sampah,” katanya.
Kebiasaan hidup yang sama juga perlu diterapkan dalam mengelola sampah-sampah berpotensi bahaya lainnya.
Ia mencontohkan sampah plastik yang banyak ditemukan di laut karena plastik yang dibuang sembarangan atau tidak terkelola dengan baik di tempat pembuangan.
Sebelum parasetamol, Teluk Jakarta divonis tercemar logam berat dari berbagai sumber pencemaran.
Etty menyebut, logam berat yang ditemukan antara lain, merkuri (Hg), timbal (Pb), kromium (Cr), kadmium (Cd), dan timah putih (Sn).
”Hasil penelitian kami, kandungan logam berat di Teluk Jakarta terus naik. Logam berat ini juga sudah mencemari kerang dan ikan sehingga berbahaya jika dikonsumsi,” katanya, yang dikutip dari Kompas pada 10 Juli 2017. [rin]
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Pengelolaan Limbah B3 Perusahaan Farmasi akan Dicek”. Klik untuk baca: Pengelolaan Limbah B3 Perusahaan Farmasi Akan Dicek - Kompas.id.