WAHANANEWS.CO, Jakarta - Leher tebal tak lagi hanya soal penampilan, melainkan sinyal serius bagi kesehatan tubuh. Para peneliti kini menyoroti lingkar leher sebagai indikator baru yang tak kalah penting dibanding indeks massa tubuh atau rasio pinggang-pinggul, karena diam-diam mampu membuka tabir risiko penyakit berbahaya.
Para dokter selama ini mengandalkan pengukuran seperti indeks massa tubuh (IMT) dan rasio lingkar pinggang-pinggul untuk menilai kondisi kesehatan.
Baca Juga:
Rahasia Sehat dari Ikan Lele: Kandungan Gizi Lengkap untuk Tubuh
Namun, baru-baru ini perhatian ilmuwan beralih pada lingkar leher yang ternyata menyimpan cerita mengejutkan di balik bentuk tubuh seseorang.
Leher tebal sering kali dikaitkan dengan kesan kekuatan, seperti pada petinju kelas berat atau pemain rugby, tetapi penelitian membuktikan justru dapat menjadi alarm bagi masalah kesehatan.
Dua peneliti dari Universitas Kingston, yakni Ahmed Elbediwy selaku Dosen Senior Biokimia Klinis/Biologi Kanker, serta Nadine Wehida, Dosen Senior Genetika dan Biologi Molekuler, menjelaskan pentingnya indikator lingkar leher dalam membaca risiko kesehatan seseorang.
Baca Juga:
Kabut Asap Karhutla Picu ISPA, Pemkab Agam Lakukan Edukasi dan Pemantauan Kesehatan
Indeks massa tubuh kerap dianggap kurang akurat.
Seorang binaragawan misalnya, bisa saja memiliki IMT tinggi tetapi tubuhnya tidak obesitas, melainkan penuh otot kekar.
Inilah mengapa lingkar leher memberi tambahan perspektif yang lebih tajam.
“Hubungannya terletak pada apa yang diungkapkan oleh ukuran leher tentang distribusi lemak, terutama di tubuh bagian atas,” jelas Elbediwy.
Lemak di bagian tubuh atas cenderung melepaskan asam lemak ke aliran darah.
Hal itu bisa mengacaukan pengelolaan kolesterol, gula darah, hingga ritme jantung.
Dengan kata lain, lingkar leher menjadi proksi yang kuat untuk mendeteksi lemak visceral, yakni lemak berbahaya yang membungkus organ vital.
Bukti ilmiah pun semakin jelas.
Mereka yang memiliki leher tebal tercatat lebih rentan terhadap hipertensi, fibrilasi atrium, dan gagal jantung.
Fibrilasi atrium sendiri merupakan kondisi berbahaya karena membuat detak jantung tak teratur, memicu risiko pembekuan darah dan stroke, bahkan berpotensi berkembang menjadi gagal jantung.
“Lingkar leher juga berkorelasi dengan penyakit jantung koroner, di mana arteri utama ke jantung menyempit dan membatasi aliran darah yang kaya oksigen,” tambah Wehida.
Risiko tak berhenti di situ.
Lingkar leher besar turut dikaitkan dengan diabetes tipe 2 serta diabetes gestasional pada ibu hamil.
Ada pula hubungannya dengan sleep apnea obstruktif, gangguan tidur ketika pernapasan berulang kali berhenti dan mulai saat tidur.
Gangguan tersebut memicu kelelahan berat di siang hari, mengganggu aktivitas, dan membebani sistem kardiovaskular.
Lantas, ukuran berapa yang tergolong berisiko?
Para peneliti menyebut, bagi pria angka di atas 43 cm perlu diwaspadai, sementara untuk wanita ambang batasnya berada pada 35,5 cm.
Cara mengukur pun sederhana.
Cukup lingkarkan pita ukur di bagian leher paling sempit, pastikan menempel tetapi tidak terlalu menekan kulit.
Yang mengejutkan, risiko kesehatan akibat lingkar leher besar tetap muncul bahkan pada orang dengan IMT normal.
Meski begitu, para ahli menegaskan masyarakat tidak perlu panik.
Yang penting adalah memahami kondisi tersebut dan mengambil langkah pencegahan yang tepat.
Lingkar leher hanyalah satu bagian dari gambaran besar kesehatan tubuh manusia, tetapi perannya tak boleh disepelekan.
Kabar baiknya, ukuran leher bisa berubah seiring gaya hidup yang lebih sehat.
Latihan kardiovaskular dan beban efektif mengurangi lemak tubuh bagian atas.
Tidur berkualitas juga membantu metabolisme pulih dengan baik.
Sementara itu, pola makan seimbang kaya sayuran, buah, dan kacang-kacangan menyediakan nutrisi penting tanpa menumpuk kalori berlebih.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]