WahanaNews.co | Belum selesai pandemi Covid-19 melanda berbagai negara
di penjuru dunia, kini muncul kekhawatiran baru mengenai kemunculan virus
Nipah.
BahkanThe
Guardian, dalam
laporannya dari sebuah hasil studi independen, menyebut bahwa tidak ada satupun perusahaan farmasi
besar di dunia yang siap jika terjadi pandemi berikutnya.
Baca Juga:
Hubungan Politik dan Ekonomi Indonesia-China
Jayasree
K Iyer, Direktur Eksekutif
Access to Medicine Foundation, sebuah
nirlaba yang berbasis di Belanda, menyoroti wabah virus Nipah yang terjadi di China, dengan tingkat kematian hingga
75 persen, dan berpotensi menjadi risiko pandemi besar berikutnya.
"Virus
Nipah adalah penyakit menular lain yang muncul dan menimbulkan kekhawatiran
besar. Nipah bisa meledak kapan saja. Pandemi berikutnya bisa jadi infeksi yang
resistan terhadap obat," kata dia.
Virus
Nipah masuk dalam daftar 10 penyakit menular dari 16 penyakit yang
diidentifikasi oleh WHO sebagai risiko kesehatan terbesar masyarakat, bersama
dengan Mers dan Sars --penyakit
pernapasan yang disebabkan oleh virus Corona
dan memiliki tingkat kematian yang jauh lebih tinggi daripada Covid-19 tetapi
tidak terlalu menular.
Baca Juga:
CIA Datangi Prabowo di AS, Ada Apa di Balik Pertemuan Misterius dengan Presiden Indonesia?
Kelelawar
buah dituding menjadi inang alami dari virus yang memiliki angka kematian 40 hingga
75 persen tersebut, tergantung di mana wabah itu terjadi.
Ada beberapa
alasan mengapa virus Nipah begitu menyeramkan.
Masa
inkubasi penyakit, yang dilaporkan
bisa mencapai 45 hari dalam satu kasus, dapat memberikan banyak kesempatan bagi
inang yang terinfeksi.
Bahkan,
mereka yang tidak sadar tengah tertular,dapat menyebarkannya.
Virus
ini juga dapat menginfeksi berbagai macam hewan, membuat kemungkinan
penyebarannya lebih mungkin terjadi.
Penularan
virus ini juga bisa melalui kontak langsung atau dengan mengonsumsi makanan
yang terkontaminasi.
Seseorang
dengan virus Nipah mungkin akan mengalami gejala pernapasan, termasuk batuk, sakit tenggorokan, kelelahan, dan
ensefalitis, pembengkakan otak yang dapat menyebabkan kejang hingga kematian.
Bangladesh
dan India merupakan dua negara yang pernah mengalami wabah virus Nipah di masa lalu, yang kemungkinan penyebabnya terkait dengan
konsumsi jus kurma.
Pada
malam hari, kelelawar yang terinfeksi akan terbang ke perkebunan kurma dan
mengambil sari buahnya saat keluar dari pohon.
Kelelawar
tersebut kemungkinan buang air kecil di pot penampung.
Penduduk
yang tidak tahu akan membelinya pada hari berikutnya dari pedagang kaki lima
setempat, meminumnya dan terinfeksi penyakit tersebut.
Dari 11
wabah virus Nipah di Bangladesh, antara tahun 2001 hingga 2011, tercatat ada 196 orang
terdeteksi dengan 150 jiwa di antaranya meninggal dunia.
Veasna
Duong, Kepala Unit Virologi di laboratorium penelitian ilmiah Institut
Pasteur Phnom Penh, Kamboja, mengatakan bahwa jus kurma juga sangat populer di
negaranya.
Duong
dan timnya telah menemukan bahwa kelelawar buah di Kamboja dapat terbang jauh --hingga 100 km setiap malam-- untuk mencari buah.
Itu
berarti penduduk di wilayah tersebut perlu khawatir, tidak hanya tentang
terlalu dekat dengan kelelawar, tetapi juga khawatir mengonsumsi produk yang
mungkin telah terkontaminasi oleh kelelawar yang terinfeksi virus Nipah.
Duong
dan timnya juga telah mengidentifikasi situasi berisiko tinggi lainnya, yaitu
kotoran kelelawar (disebut guano) menjadi
pupuk yang populer di Kamboja, Thailand, dan di
daerah pedesaan dengan sedikit kesempatan kerja.
Bagi
penduduk di sana, menjual
kotoran kelelawar dapat menjadi cara yang vital untuk mencari nafkah.
Duong
mengidentifikasi banyak lokasi di mana penduduk setempat mendorong kelelawar
buah, yang juga dikenal sebagai rubah terbang, untuk bertengger di dekat rumah
mereka, sehingga mereka dapat mengumpulkan dan menjual guano mereka.
Namun, sayangnya, banyak
pemanen guano tidak tahu resiko apa
yang mereka hadapi saat melakukannya.
"Enam
puluh persen orang yang kami wawancarai tidak tahu bahwa kelelawar menularkan penyakit.
Masih kurangnya pengetahuan di masyarakat," kata Duong kepada BBC.
Duong
meyakini bahwa dengan memberikan edukasi kepada penduduk setempat tentang
ancaman yang dibawakan oleh kelelawar pembawa penyakit ini harus menjadi
inisiatif utama.
Selain
itu, perusakan habitat kelelawar juga telah menyebabkan penyebaran infeksi
virus Nipah di masa lalu.
Pada
tahun 1998, wabah virus Nipah di Malaysia menewaskan lebih dari 100 orang.
Para
peneliti menyimpulkan bahwa kebakaran hutan dan kekeringan setempat telah
mengusir kelelawar dari habitat aslinya dan memaksa mereka menuju pohon buah
yang tumbuh di peternakan yang memelihara babi.
Saat di
bawah tekanan, kelelawar terbukti melepaskan lebih banyak virus.
Kombinasi
antara dipaksa untuk pindah habitat dan berada dalam kontak dekat dengan
spesies yang biasanya tidak berinteraksi dengan mereka memungkinkan virus untuk
berpindah dari kelelawar ke babi, dan seterusnya ke peternak.
Kelelawar
buah cenderung hidup di kawasan hutan lebat dengan banyak banyak pohon buah-buahan
untuk mereka makan. Saat habitat mereka dihancurkan atau dirusak, mereka
menemukan solusi baru --seperti
bertengger di rumah, ataupun di menara seperti yang terjadi di Angkor Wat.
"Perusakan
habitat kelelawar dan gangguan manusia melalui perburuan mendorong mereka untuk
mencari tempat bertengger alternatif," ujar Duong.
Namun, haruskah kelelawar tersebut dibasmi?
"Tidak,
kecuali kita ingin memperburuk keadaan," kata Tracey Goldstein, Direktur Laboratorium
One Health Institute dan Direktur Lab Predict
Project.
Dia
mengatakan bahwa kelelawar memiliki peranan ekologis yang sangat penting.
Mereka menyerbuki lebih dari 500 spesies tanaman.
"Mereka
juga membantu mengendalikan serangga --memainkan
peran yang sangat penting dalam pengendalian penyakit pada manusia, misalnya
mengurangi malaria dengan memakan nyamuk," kata Goldstein.
Dia juga
menunjukkan bahwa pemusnahan kelelawar telah terbukti merugikan dari perspektif
penyakit dan bagi manusia.
"Itu
akan membuat (manusia) lebih rentan. Dengan membunuh hewan, Anda meningkatkan
risiko, karena Anda meningkatkan jumlah hewan yang menyebarkan virus,"
kata Goldstein.
Oleh
karena itu, para peneliti dan pemerintah di seluruh dunia pun sepakat bahwa
virus Nipah sangat berbahaya --memiliki
potensi ancaman bioterorisme-- dan
hanya segelintir laboratorium di seluruh dunia yang diizinkan untuk
membudidayakan, menumbuhkan dan menyimpannya. [qnt]