WahanaNews.co | Pekerjaan fisik, tentunya akan membuat siapa pun merasa lelah. Namun, bukan berarti overthinking dan terlalu memaksa otak berpikir keras tidak membuat Anda lelah.
Hanya sekadar duduk sambil berpikir keras selama berjam-jam dapat membuat seseorang merasa lelah.
Baca Juga:
Edy Rahmayadi Kampanye Akbar di Labura: Fokus pada Pendidikan, Kesehatan, dan Infrastruktur
Sekelompok peneliti mencoba membuktikan bagaimana overthinking dan berpikir terlalu keras dapat menyebabkan rasa lelah. Studi ini telah dilaporkan para peneliti di jurnal Current Biology pada 11 Agustus 2022 lalu.
Dikutip dari Science Daily, Senin (15/8/2022), studi tersebut menunjukkan bahwa saat kerja kognitif yang intens diperpanjang selama beberapa jam, maka hal itu dapat menyebabkan produk sampingan senyawa berpotensi beracun dapat menumpuk di bagian otak yang disebut korteks prefrontal.
Pada gilirannya, hal itu dapat mengubah kendali seseorang dalam membuat keputusan.
Baca Juga:
Program KKS, Milik Semua Instansi dan Masyarakat Dairi
"Teori-teori berpengaruh menyarankan bahwa kelelahan adalah semacam ilusi yang dibuat oleh otak untuk membuat kita menghentikan apa pun yang kita lakukan dan beralih ke aktivitas yang lebih memuaskan," kata Mathias Pessiglione dari Pitié-Salpêtrière University di Paris, Perancis.
Kendati demikian, Pessiglione mengatakann bahwa temuan yang mereka peroleh dari studi ini, menunjukkan, kerja kognitif menghasilkan perubahan fungsional yang sebenarnya.
Pessiglione menambahkan, akumulasi zat berbahaya di dalam otak, yakni glutamat, akibat otak dipaksa berpikir keras atau overthinking, menyebabkan kelelahan yang akan menjadi sinyal yang membuat kita berhenti bekerja, tetapi untuk tujuan yang berbeda.
Pessiglione dan rekan termasuk penulis pertama studi Antonius Wiehler ingin memahami apa sebenarnya yang menyebabkan kelelahan mental.
Gagasan studi ini, mereka menduga bahwa alasannya berkaitan dengan kebutuhan dalam mendaur ulang zat yang berpotensi beracun yang muncul dari aktivitas saraf.
Reaksi kimia otak saat orang overthinking
Dalam studi untuk mencari bukti bagaimana berpikir keras hingga overthinking dapat menyebabkan rasa lelah, para peneliti menggunakan spektroskopi resonansi magnetik (MRS) untuk memantau kimia otak selama hari kerja.
Peneliti pun mengamati dua kelompok orang, mereka yang perlu berpikir keras dan mereka yang diberi tugas kognitif yang relatif lebih mudah.
Hasilnya, mereka melihat adanya tanda-tanda kelelahan, termasuk berkurangnya pelebaran pupil yang diamati pada kelompok yang melakukan pekerjaan yang menuntut otak berpikir keras hingga overthinking.
Mereka yang berada di dalam kelompok itu juga menunjukkan pergeseran pilihan ke arah opsi yang menawarkan imbalan dengan penundaan singkat dengan sedikit usaha.
Secara kritis, mereka juga memiliki tingkat glutamat yang lebih tinggi di sinapsis korteks prefrontal otak.
Dikaitkan dengan bukti studi sebelumnya, peneliti juga mendukung gagasan bahwa akumulasi glutamat, senyawa kimia dalam otak, membuat aktivasi lebih lanjut dari korteks prefrontal otak menjadi bekerja lebih keras.
Akibatnya, kontrol kognitif menjadi lebih sulit setelah hari kerja yang berat secara mental.
Mengatasi keterbatasan otak saat terlalu overthinking.
Pessiglione mengatakan bahwa untuk mengatasi keterbatasan otak, saat harus dipaksa berpikir keras dan terlalu sering overthinking, maka cara yang bisa dilakukan sangatlah sederhana.
"Saya akan menggunakan resep lama yang bagus, istirahat dan tidur. Ada bukti bagus bahwa glutamat dihilangkan dari sinapsis selama tidur," jelas Pessiglione.
Kendati demikian, peneliti menduga masih ada implikasi lain. Mereka mengatakan, pemantauan metabolit prefrontal otak dapat membantu mendeteksi kelelahan mental yang parah.
Kemampuan seperti itu dapat membantu menyesuaikan agenda kerja untuk menghindari kelelahan.
Selain itu, peneliti juga menyarankan orang untuk menghindari membuat keputusan penting saat mereka lelah.
Di masa depan, para peneliti berharap dapat mempelajari mengapa korteks prefrontal otak ini sangat rentan terhadap akumulasi glutamat dan kelelahan.
Mereka juga penasaran untuk mengetahui adakah penanda kelelahan yang sama di otak yang dapat digunakan untuk memprediksi pemulihan dari kondisi kesehatan, seperti depresi atau kanker. [rin]