WAHANANEWS.CO, Jakarta - Masih banyak orang salah paham dan menganggap Obsessive Compulsive Disorder (OCD) hanya sebatas kebiasaan menjaga kebersihan atau kegemaran menata barang.
Padahal, kondisi ini jauh lebih kompleks.
Baca Juga:
Gelombang Panas Terjang Eropa: 8 Tewas, Wisata dan Nuklir Terdampak
Psikolog Frisca Priscilia Boentario menjelaskan, OCD merupakan gangguan kesehatan mental serius yang ditandai dengan munculnya pikiran atau bayangan yang berulang dan tidak diinginkan.
Pikiran tersebut memicu kecemasan tinggi dan mendorong penderitanya untuk melakukan tindakan berulang demi meredakan rasa cemas itu.
“Obsessive Compulsive Disorder (OCD) adalah gangguan kesehatan mental serius yang ditandai dengan pikiran atau bayangan berulang yang tidak diinginkan, memicu kecemasan, dan mendorong penderitanya untuk melakukan tindakan berulang demi meredakannya,” ujar Frisca.
Baca Juga:
Panas Ekstrem di Prancis Tewaskan Dua Orang, Paris Sentuh 40 Derajat Celsius
Perilaku seperti mencuci tangan berulang kali, memeriksa kunci pintu berkali-kali, atau menata barang dengan pola tertentu bukan dilakukan karena keinginan, melainkan dorongan yang tak bisa dikendalikan.
Justru, hal tersebut melelahkan dan penuh tekanan. Sebagian besar penderita menyadari perilakunya berlebihan dan ingin berhenti, namun sulit karena dihantui rasa takut serta cemas.
Jika tidak ditangani, OCD dapat menghambat produktivitas kerja, merusak hubungan sosial, bahkan menyulitkan aktivitas sederhana seperti sekadar keluar rumah.
Faktor Penyebab dan Risiko OCD
Meski penyebab pasti OCD belum terungkap sepenuhnya, para ahli menilai kondisi ini muncul karena kombinasi faktor biologis, lingkungan, dan pola pikir yang terbentuk sejak kecil.
OCD biasanya mulai terlihat pada masa remaja atau awal dewasa, terkadang dipicu peristiwa besar seperti perubahan pekerjaan, kelahiran anak, hingga meningkatnya tanggung jawab hidup.
Mengutip halodoc.com, beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko OCD, di antaranya:
1. Riwayat keluarga – Memiliki anggota keluarga dengan OCD meningkatkan peluang terjadinya kondisi serupa karena faktor genetik.
2. Gangguan otak – Aktivitas berlebihan di area otak tertentu atau rendahnya kadar serotonin sering ditemukan pada penderita OCD.
3. Pengalaman traumatis – Riwayat pelecehan, intimidasi, atau kehilangan orang terdekat dapat menjadi pemicu.
4. Kepribadian perfeksionis – Individu yang sangat teliti, rapi, dan penuh tanggung jawab cenderung lebih rentan.
5. Gangguan mental lain – OCD sering muncul bersamaan dengan depresi, kecemasan, penyalahgunaan zat, atau tic disorder.
6. Lingkungan masa kecil – Pola asuh tidak mendukung, sering diremehkan, atau menjadi korban ejekan dapat memicu sikap perfeksionis ekstrem yang berkembang menjadi OCD.
Tipe OCD dan Dampaknya
Psikolog Febria Indra Hastuti, melalui kanal YouTube Brawijaya Healthcare, menuturkan bahwa OCD selalu ditandai oleh pikiran dan dorongan berulang yang tidak diinginkan.
Hal ini membuat penderita berperilaku kaku, mengulang-ulang tindakan, dan kesulitan menjalani interaksi sosial maupun fungsi sehari-hari.
Febria membagi OCD dalam beberapa tipe utama, yaitu:
- Cleaner – Terobsesi menjaga kebersihan dan takut kotor.
- Checker – Terus-menerus memeriksa hal-hal kecil, misalnya pintu rumah atau kompor.
-Organizer – Tidak bisa menerima kondisi berantakan, semua barang harus sesuai posisi tertentu.
- Obsessive thinking – Dipenuhi pikiran mengganggu yang menimbulkan keyakinan jika tidak melakukan sesuatu akan terjadi hal buruk.
- Hoarder – Memiliki kecenderungan menimbun barang yang sebenarnya tidak diperlukan.
“Kebiasaan hidup teratur memang wajar. Namun, ketika perilaku tersebut sudah menimbulkan penderitaan dan menghambat aktivitas sehari-hari, itu dapat digolongkan sebagai gangguan mental menurut kriteria DSM-5,” tegas Febria.
Penanganan OCD
OCD dapat diatasi melalui psikoterapi, pemberian obat-obatan, atau kombinasi keduanya, tergantung tingkat keparahan gejala.
Selain itu, dukungan keluarga, lingkungan yang peduli, dan akses terhadap layanan kesehatan mental berperan penting agar penderita dapat menjalani hidup lebih baik dan produktif.
Pada akhirnya, OCD bukan sekadar sifat perfeksionis atau suka kebersihan, melainkan gangguan kesehatan mental yang serius.
Dengan meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai faktor risiko, tipe, hingga dampaknya, diharapkan stigma dan salah kaprah tentang OCD dapat berkurang.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]