“Kami melihat pergerakan harga PCR akan terkoreksi sesuai dinamika pasar, makin banyak kebutuhan dan produksi maka harga akan terkoreksi,” kata Randy.
Dia justru menduga penetapan HET pada layanan tes PCR membatasi dinamika harga.
Baca Juga:
Ini Beda Tes PCR Pada Pasien Covid-19 dengan Cacar Monyet
Dia menengarai penyedia layanan tes menetapkan harga di batas tertinggi ketika harga sejumlah struktur sejatinya telah turun.
“Kami tengarai yang jadi masalah karena ada pembatasan harga. Saat harga dibatasi Rp 900.000 pada 2020, mungkin sebenarnya saat Januari atau Februari 2021 sudah ada penyesuaian harga reagen. Mungkin karena dibatasi, banyak yang menentukan biaya layanan mengikuti harga tertinggi. Mekanisme pasar tidak terjadi,” katanya.
Jika melihat dinamika harga impor, nilai impor reagen untuk analisis PCR dengan kode HS 38220090 pada April 2020 mencapai US$ 30,78 juta.
Baca Juga:
KAI Mulai Berlakukan Wajib Tes RT-PCR Bagi Pelanggan Usia 18 Tahun yang Belum Booster
Dengan volume impor pada bulan tersebut sebesar 534.730 kilogram (kg), maka rata-rata harga setiap kg reagen adalah US$ 57,56 atau sekitar Rp 817.000 per kg (kurs Rp14.200).
Namun, ketika nilai impor reagen pada April 2021 mencapai US$ 30,93 juta dan volume 335.706 kg, harga rata-rata per kg justru menyentuh US$ 92,13 atau sekitar Rp 1,3 juta per kg.
Randy mengatakan, terdapat beragam jenis reagen untuk analisis virus Covid-19 seiring dengan perkembangan teknologi.