WahanaNews.co | Media sosial saat ini paling banyak diminati dan digunakan remaja. Remaja menjadi pengguna aktif jejaring sosial.
Selain dapat membantu kemudahan akses informasi dan hiburan tetapi menghabiskan terlalu banyak waktu di media sosial dapat berdampak negatif pula.
Baca Juga:
Prilly Latuconsina Angkat Isu Kesehatan Mental Lewat Film 'Bolehkah Sekali Saja Kumenangis'
Mengapa? Sebab, tidak ada pedoman filter moral dan batasan konsumsi informasi yang ada di media sosial.
Berdasarkan survei dari Paw Research pada tahun 2022 kepada remaja AS, diketahui 55% dari mereka menyatakan menghabiskan sejumlah waktu di media sosial dan 36% menyatakan mereka menghabiskan terlalu banyak waktu di media sosial.
Isu keterkaitan akan media sosial dengan remaja selalu menuai pembahasan yang menarik.
Baca Juga:
Waspadai Orang Manipulatif, Kenali Tanda dan Trik Manipulator di Sekitar Kita
Bahkan pada sidang kongres di Hari Valentine 2023, terdapat pembahasan yang difokuskan pada isu antara media sosial dan kesehatan remaja.
Melalui kongres tersebut, beberapa orang serta organisasi termasuk Asosiasi Psikologi Amerika (APA), mengklaim bahwa media sosial dapat merugikan remaja.
Emma Lembke, pendiri Log Off mengungkapkan bahwa jika tidak diatur dengan baik maka media sosial dapat menjadi senjata pemusnah massal yang akan mengancam privasi, keamanan dan kesejahteraan dari para remaja.
Mitch Pristein, pejabat ilmu pengetahuan utama APA juga menuturkan bahwa media sosial dapat menyebabkan kecanduan serta dapat mengeksploitasi kerentanan biologis pada remaja, meningkatkan kesepian, perilaku berisiko dan kesehatan mental lainnya.
Isu yang dilemparkan antara media sosial dan remaja tentu memberikan ketakutan bagi orang tua. Namun, melalui pengetahuan ilmiah belum ditemukan hubungan yang jelas antara penggunaan media sosial dan kesehatan mental remaja.
Melansir Psychologi Today, Psikolog media dari Amerika Serikat, Inggris dan India melakukan penelitian akan dampak durasi layar media sosial terhadap kesehatan mental remaja.
Mereka hanya mendapatkan sedikit bukti bahwa media sosial dapat memperburuk kesehatan mental pada remaja.
Studi ilmiah tersebut gagal untuk mengaitkan penggunaan media sosial dengan kesehatan mental. Salah satu buktinya ketika media sosial meluas di Inggris, negara ini tidak mengalami kenaikan angka bunuh diri pada remaja bahkan menurun selama satu setengah dekade terakhir.
Namun faktanya, di Amerika para remaja khususnya remaja putri mengalami krisis kesehatan mental.
Jadi jika kita hanya melihat krisis kesehatan mental pada remaja tentunya media sosial akan disebutkan sebagai penyebabnya.
Data yang dimiliki oleh Centers for Disease Control (CDC) mengungkapkan meskipun bunuh diri pada remaja meningkat tetapi memiliki tingkatan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan tindakan bunuh diri pada kelompok usia lain.
Hal tersebut tentunya faktor lain selain sosial media yang dapat menyebabkan bunuh diri harus diselidiki.
Kemudian ditemukan bahwa bunuh diri pada remaja biasanya disebabkan oleh paparan bullying dan pengalaman bunuh diri yang dimiliki oleh jaringan sosial mereka.
Biasanya rasa sakit tersebut kemungkinan akan bersifat lintas generasi. Namun, jika kita memfokuskannya hanya pada remaja secara terpisah dan kecenderungan mereka yang terobsesi dengan media sosial akan menyebabkan terlewatnya kemungkinan lain akan masalah kesehatan mental mereka.
Terdapat sedikit bukti bahwa media sosial dapat menyebabkan kecanduan atau bersifat adiktif yang memiliki arti yang sama dengan zat psikoaktif. Hal tersebut membuktikan bahwa terdapat media sosial yang berlebih.
Kendati demikian, diketahui melalui penelitian penggunaan media sosial yang berlebih merupakan gejala bukan penyebab stres pada remaja. Stres tersebut justru dipicu oleh orang tua dan sekolah, bukan media sosial.
Terdapat beberapa dugaan terkait penyebab meningkatnya masalah kesehatan mental yang dialami oleh remaja.
Pertama, remaja yang memiliki masalah kesehatan mental dapat disebabkan karena terdapat anggota keluarga dengan masalah yang sama.
Kedua, perubahan dalam pola pengasuhan anak dan praktik sekolah selama beberapa dekade terakhir.
Mereka cenderung akan melindungi anak dari kesempatan untuk mengembangkan kepribadian tatapi mengharapkan untuk memilik berbagai pencapaian untuk masuk ke perguruan tinggi.
Ketiga, praktik pendidikan menggambarkan kehidupan masyarakat yang rasialis dan menindas sehingga menyebabkan peningkatan emosi negatif pada anak.
Keempat, terjadi kasus khusus yang memiliki dampak sangat luas seperti resesi di tahun 2008 dan pandemi Covid-19 pada tahun 2020. [Tio/Detik]