WahanaNews.co | Terjadinya
misinformasi secara masif dan viralnya teori konspirasi menimbulkan masalah
bagi penanganan Covid-19.
Baca Juga:
Dinas Kesehatan Yogyakarta Targetkan 30.702 Anak Terima Imunisasi Polio pada PIN 2024
Pasalnya, hoaks menyesatkan tersebut bisa bikin orang jadi
anti-vaksin, yang pada gilirannya menghambat munculnya herd immunity guna
menekan kasus virus corona.
Nah, lalu bagaimana caranya agar anggota keluarga atau
orang-orang terdekat kita mau "tobat" dan siap disuntik vaksin?
Menurut riset terbaru yang dipublikasi di British Journal of
Health Psychology pada 18 Juli 2021, seorang anti-vaksin dapat luluh dengan
pendiriannya dan mau disuntik vaksin jika teman-teman dan keluarganya secara
terbuka menerima vaksin.
Baca Juga:
Pemkab Batang, Massifkan Pencegahan Kasus Flu Singapura (HFMD)
Temuan ini menunjukkan bahwa pandangan teman pro-vaksin
dapat bermanfaat untuk mengurangi dampak negatif dari mentalitas konspirasi
pada orang anti-vaksin.
"Temuan kami menunjukkan bahwa ketika teman dan keluarga
menyetujui vaksinasi, keyakinan konspirasi tidak lagi berperan dalam
memprediksi niat vaksinasi," kata Kevin Winter, penulis studi sekaligus seorang
peneliti senior di Universitas Tubingen, kepada PsyPost.
"Dengan demikian,
menyampaikan sikap yang baik terhadap vaksinasi kepada orang lain yang rentan
terhadap teori konspirasi mungkin berhasil mengurangi keraguan mereka terhadap
vaksin."
Winter mengatakan, penelitian yang timnya lakukan
dilatarbelakangi oleh tren yang mengkhawatirkan dari kemunculan gerakan
anti-vaksin yang dapat berakibat buruk bagi kesehatan global. Gerakan
anti-vaksin ini, yang muncul berkat teori konspirasi dan hoaks, bahkan telah
muncul sebelum pandemi corona merebak.
Oleh karena itu, para peneliti hendak mencari tahu cara
supaya orang yang anti-vaksin dapat percaya pada vaksin.
Para peneliti bertanya-tanya apakah orang anti-vaksin kebal
dari norma sosial di sekitarnya yang percaya vaksin hingga kukuh tak mau
divaksin? Atau, justru orang anti-vaksin bisa luluh dan mau divaksin jika norma
di sekitarnya percaya vaksin?
Untuk menjawab pertanyaan itu, para peneliti mengumpulkan
1.280 relawan. Setiap relawan ditanya tentang sikap mereka terhadap 5 vaksin
yang berbeda, yang terdiri dari vaksin untuk bepergian ke luar negeri, vaksin
hepatitis B untuk anak, vaksin influenza musiman, vaksin untuk melindungi dari
virus ensefalitis tick-borne (TBEV), dan vaksin Covid-19.
Untuk setiap vaksin, responden harus melaporkan seberapa
niat mereka mau vaksinasi dan juga menunjukkan sejauh mana mereka percaya orang
yang mereka cintai juga mendukung vaksin, (misalnya, "Orang yang saya sayangi
mungkin berpikir saya harus divaksinasi [nama penyakit]."). Para peserta pun
harus menjawab seberapa percaya mereka tentang konspirasi.
Hasil dari analisis jawaban para peserta menunjukkan, bahwa
orang yang tak percaya konspirasi lebih bersedia untuk divaksinasi. Di sisi
lain, relawan yang percaya konspirasi ternyata juga mau divaksin jika
orang-orang di sekitarnya percaya pada vaksin.
"Manusia adalah makhluk sosial, sangat dipengaruhi oleh
persepsi mereka tentang kepercayaan dan sikap orang lain yang dekat seperti
teman dan keluarga, tulis para peneliti. Persepsi ini sering disebut sebagai
"norma subjektif."
Oleh karena itu, para peneliti menganjurkan agar orang
terdekat dan keluarga dari penganut anti-vaksin untuk mengungkap dukungan
mereka pada vaksinasi. Tindakan ini dapat membuat penganut konspirasi
anti-vaksin mau divaksin, dan lebih berguna ketimbang kita capek-capek berdebat
bahwa teori konspirasi yang dia percaya adalah salah.
"Daripada mencoba untuk mengurangi keyakinan
konspirasi, menandakan norma subjektif positif mungkin merupakan cara untuk
menghindari dampak negatif dari kecenderungan konspirasi pada niat
vaksinasi," kata para peneliti.
Meski memberikan wawasan yang bermanfaat tentang cara
menangani keenganan vaksin dari penganut anti-vaksin penelitian ini punya
limitasi.
"Kami sadar bahwa
temuan kami mungkin tidak berlaku untuk orang-orang yang mengakar kuat dalam
pandangan dunia konspirasi dan pada prinsipnya menolak vaksinasi apa pun," kata
Winter.
"Orang-orang ini bahkan mungkin memiliki lingkungan sosial
yang mendukung keyakinan anti-vaksin. Temuan ini lebih berlaku untuk
orang-orang yang rentan terhadap kepercayaan konspirasi dan ragu-ragu terhadap
vaksinasi, tetapi masih dikelilingi oleh orang-orang dekat yang tidak menganut
kepercayaan konspirasi."
"Faktor pembatas lain yang perlu dipertimbangkan adalah
desain penelitian kami hanya korelasional. Artinya, belum jelas apakah mengubah
komunikasi antara teman dan keluarga benar-benar akan meningkatkan niat
vaksinasi," katanya. [rin]