"Ini berarti bahwa virus memiliki banyak cara untuk
mengubah domain immunodominant untuk menghindari kekebalan sekaligus
mempertahankan kemampuan untuk menginfeksi dan menyebabkan penyakit," ujar
Snell.
Ini juga diungkapkan oleh Prof Zubairi Djoerban, Ketua
Satgas COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Ia mengatakan bahwa varian baru
ini mampu bertahan terhadap antibodi.
Baca Juga:
WHO: Omicron Belum Sebabkan Kematian, Delta Jauh Lebih Ganas
"Yang paling disorot dari N439K adalah sifatnya yang
resisten terhadap antibodi alias tidak mempan. Baik itu antibodi dari tubuh
orang yang telah terinfeksi, maupun antibodi yang telah disuntikkan ke tubuh
kita," ungkapnya.
Mutasi paling umum
kedua di dunia
Baca Juga:
WHO: Belum Ada Kematian Akibat Omicron, Delta Jauh Lebih Ganas
Peneliti menyebut, di antara banyak mutasi yang terjadi saat
ini, varian N439K adalah yang paling umum kedua di dunia dalam receptor binding
domain (RBD). Sejauh ini ada dua varian virus corona yang menjadi perhatian
para peneliti, yakni varian Afrika Selatan dan Inggris.
"Temuan penting dari makalah ini adalah tingkat
variabilitas yang ditemukan dalam immunodominant receptor binding (RBM) pada
protein lonjakan," ungkap Snell. "Ini menggarisbawahi kebutuhan untuk
pengawasan yang luas, pemahaman rinci tentang mekanisme molekuler dari mutasi,
dan untuk pengembangan terapi terhadap resistensi varian yang beredar saat ini
dan yang akan muncul di masa depan."
Untuk pencegahannya, Amin meminta masyarakat untuk terus
disiplin protokol kesehatan. "Kalau masalah pencegahannya sama, kita kan
kalau di luar tidak tahu varian yang mana yang ada. Prinsipnya tetap menerapkan
prokes," imbaunya. [qnt]
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.