WahanaNews.co | Seorang dokter asal Nigeria, Dimie Ogoina, yang merawat pasien selama wabah cacar monyet pada 2017 menyatakan virus monkeypox kini menunjukkan sebagai salah satu penyakit menular seksual (PMS).
Pernyataan ini diungkapkannya karena semakin banyak kasus di AS yang muncul dan telah dinyatakan sebagai keadaan darurat kesehatan.
Baca Juga:
Berikut Tips Pencegahan Cacar Monyet Agar Tidak Tertular
Ogoina merupakan dokter yang menangani kasus cacar monyet pertama di Nigeria dalam hampir 40 tahun.
Pada 2017, seorang anak laki-laki berusia 11 tahun datang kepadanya dengan ruam seperti cacar air.
Ogoina mengatakan dia belum pernah melihat kasus cacar monyet secara langsung. Dia hanya melihat kasus itu melalui gambar.
Baca Juga:
Kasus Cacar Monyet di Jakarta Barat Bertambah Jadi 10 Orang
Ogoina menemukan kasus cacar monyet pertama yang terdokumentasi pada manusia pada tahun 1970-an di antara anak-anak dari Kongo, Liberia, dan Sierra Leone.
Sebelum itu, para ilmuwan mendeteksi kasus pertama pada monyet di fasilitas hewan di Kopenhagen, Denmark, pada 1958.
Dari situlah, penyakit ini mendapatkan nama "cacar monyet".
Namun, pada 2017, Ogoina, seorang profesor kedokteran dan penyakit menular di Niger Delta University memperhatikan bahwa bocah lelaki berusia 11 tahun itu tidak melakukan kontak dengan hewan.
Virus itu menyebar di antara keluarganya.
Pertama menginfeksi pamannya, kemudian menyebar ke ibu, ayah, dan adik laki-lakinya.
Setelah mengirimkan sampel lesi anak laki-laki itu ke laboratorium di Senegal, Ogoina mengonfirmasikan kecurigaannya, yakni bahwa anak laki-laki itu terjangkit kasus cacar monyet pertama di Nigeria dalam 38 tahun.
Wabah pada 2017 itu kemudian tumbuh menjadi 200 kasus yang dikonfirmasi di Nigeria.
Sejak itu, virus cacar monyet berubah dari penyakit langka menjadi endemik di Afrika dengan kasus menyebar terutama di kalangan pria muda, gay, dan biseksual.
Meskipun virus ini bukan endemik di AS, Ogoina mengatakan kepada Fox News bahwa menurut pendapatnya, virus itu menunjukkan tanda-tanda menjadi "PMS yang sudah tak terbantahkan".
"Ini berarti virus menyebar di antara populasi AS seperti penyakit lain, seperti klamidia, gonore, atau HIV," ujar Ogoina.
Pada 2021, AS mengonfirmasi dua kasus cacar monyet dari pelancong yang datang dari Nigeria. Kini, kurang dari satu tahun kemudian, kasus cacar monyet semakin bertambah.
"Ini adalah infeksi yang telah menyebar begitu cepat di lebih dari 50 negara dalam waktu kurang dari dua bulan dan masih terus menyebar," kata Ogoina.
Ada 14.115 kasus monkeypox (orthopoxvirus) yang dikonfirmasi di AS pada Kamis (18/8/2022) sore.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS mengatakan bahwa meskipun virus dapat ditularkan secara seksual, ini belum mencapai status infeksi menular seksual (IMS).
"(Wabah) saat ini telah menimbulkan pertanyaan tentang apakah monkeypox adalah infeksi menular seksual (IMS). Monkeypox dapat lebih akurat digambarkan sebagai 'menular secara seksual.' Dengan kata lain, seks adalah salah satu cara penyebaran cacar monyet, tapi bukan satu-satunya cara," kata agensi tersebut, dikutip dari Fox News, Minggu (21/8/2022).
Nama Baru Cacar Monyet
Dalam wabah cacar monyet saat ini, menurut CDC, virus menyebar terutama melalui kontak dekat dengan seseorang yang menderita cacar monyet.
Ini termasuk kontak dengan luka cacar monyet atau sekresi pernapasan melalui kontak antarkulit yang dekat dan berkelanjutan yang terjadi saat berhubungan seks.
Pejabat kesehatan masyarakat AS saat ini juga sedang berusaha memerangi stigma seputar nama penyakit dan populasi yang terkena dampak.
"Virus yang baru diidentifikasi, penyakit terkait, dan varian virus harus diberi nama dengan tujuan untuk menghindari pelanggaran terhadap kelompok budaya, sosial, nasional, regional, profesional, atau etnis apa pun,"kata lembaga itu.
Senada, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga sedang mencari nama pengganti monkeypox. Penamaan ini penting untuk menghindari diskriminasi.
"Praktik terbaik saat ini adalah bahwa virus yang baru diidentifikasi, penyakit terkait dan varian virus harus diberi nama dengan tujuan untuk menghindari menyebabkan pelanggaran terhadap budaya, sosial, nasional, regional, kelompok profesional atau etnis, dan meminimalkan dampak negatif apa pun pada perdagangan, perjalanan, pariwisata, atau kesejahteraan hewan," kata WHO dalam sebuah pernyataan. [rin]