WAHANANEWS.CO, Jakarta - Kasus yang melibatkan seorang dosen dan notaris di Medan ini segera menarik perhatian publik. Kejadian ini dianggap luar biasa karena tersangkanya adalah seorang akademisi yang memiliki reputasi baik.
Tragedi tersebut menimbulkan pertanyaan besar di kalangan masyarakat, mengingat profesi pelaku yang biasanya berhubungan dengan hukum dan pendidikan.
Baca Juga:
Mark-Up Tanah Ratusan Miliar, KPK Sita Rumah Mewah Salomo Sihombing di Medan
Kasus ini juga semakin rumit setelah adanya kejanggalan-kejanggalan yang ditemukan dalam penyelidikan awal.
Tiromsi Sitanggang (57), seorang dosen di Medan, Sumatera Utara, telah ditetapkan sebagai tersangka dalam pembunuhan suaminya, Ruslan Maralen Situngkir (61).
Insiden tragis ini terjadi di rumah mereka yang terletak di Jalan Gaperta, Kota Medan, pada Jumat (22/3/2024) silam, sekitar pukul 12.00 WIB.
Baca Juga:
Terkait Korupsi Lahan Rorotan, KPK Sita Satu Rumah Mewah di Medan
Awalnya, pihak kepolisian mendapatkan informasi bahwa korban mengalami kecelakaan dan dibawa ke RS Advent Medan.
Namun, ketika petugas dari Polsek Helvetia tiba di rumah sakit, mereka mendapati bahwa korban telah meninggal dunia.
Polisi semakin curiga setelah mendatangi lokasi yang disebut sebagai tempat kecelakaan, tetapi tidak menemukan bukti kecelakaan di area tersebut.
Kepala Polsek Helvetia, Alexander Putra, pada Selasa (17/9/2024) menjelaskan, "Setelah dicek ke lokasi, warga sekitar tidak mendapati adanya kecelakaan," ungkapnya.
Kecurigaan yang semakin besar membuat polisi memutuskan untuk melakukan otopsi pada jenazah korban. Meski awalnya pelaku menolak dan membawa jenazah ke Kabupaten Dairi untuk dimakamkan, polisi tetap melanjutkan penyelidikan.
"Meski begitu, penyelidikan tetap dilakukan. Kami melakukan ekshumasi. Hasil otopsinya menunjukkan korban mengalami luka akibat benda tumpul di beberapa bagian tubuh, seperti kepala, wajah, dan kelamin," terang Alexander.
Polisi akhirnya menangkap Tiromsi pada Sabtu (14/9/2024). Meski demikian, Tiromsi dengan tegas membantah tuduhan pembunuhan tersebut. "Untuk motif masih didalami karena pelaku belum mengaku. Tapi kami duga juga ada pelaku lain yang saat ini sedang diselidiki," tambah Alexander.
Diketahui, Tiromsi adalah seorang dosen di salah satu universitas di Medan dan juga bekerja sebagai notaris. "Pekerjaan pelaku notaris dan dosen di salah satu universitas di Medan," lanjutnya.
Saat ini, dosen Tiromsi Sitanggang resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Polsek Medan Helvetia atas tuduhan pembunuhan suaminya, Rusman Maralen Situngkir (61). Akibat tindakannya ini, ia menghadapi ancaman hukuman mati.
Lalu, siapa sebenarnya sosok dosen yang dijuluki 'killer' ini?
Berdasarkan informasi dari Tribunnews, Tiromsi Sitanggang ternyata lahir pada tahun 1963 dan kini berusia 61 tahun (sebelumnya diinformasikan 57 tahun - red).
Sebelum penangkapannya, ia mengajar di sebuah kampus swasta di Kota Medan.
Selain berprofesi sebagai dosen, Tiromsi juga bekerja sebagai notaris, dan namanya tercatat dalam aplikasi Sipoltak—Sistem Pelaporan, Pemeriksaan, dan Pengawasan Melekat Kenotariatan Online—yang dikelola oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Wilayah Sumatra Utara. Kantor notarisnya terletak di Jalan Gaperta No.137, Helvetia Tengah, Medan Helvetia.
Tiromsi memiliki latar belakang pendidikan yang cukup mentereng, dengan gelar Sarjana Hukum (SH), Magister Hukum (MH), Magister Kenotariatan (MKn), dan Doktor (Dr).
Di kantor polisi, Tiromsi menyangkal tuduhan bahwa ia membunuh suaminya. Ia mengaku sangat mencintai Rusman sejak awal pernikahan hingga akhir hayat suaminya.
Bahkan, ia menyatakan bahwa dirinya lah yang merawat suaminya selama sakit.
"Saya sangat mencintai suami saya dan keluarga saya, mulai berumah tangga sampai saat ini, sampai suami saya meninggal. Suami saya, saya rawat sakit-sakitan," ujarnya, mengutip TribunMedan.com.
Menurut Tiromsi, tidak ada alasan baginya untuk membunuh Rusman, terutama karena usia pernikahan mereka yang sudah dewasa.
Ia juga menyatakan bahwa di usianya yang telah menginjak kepala enam, perselisihan rumah tangga bukan lagi masalah.
"Kalau itu (pembunuhan) biarlah penyidik dan Tuhan yang berbicara, karma akan ada. Kalau saya ada, saya akui," tambahnya. Ia mengungkapkan bahwa di usia 60-an, tidak ada lagi alasan untuk bertengkar.
Terkait penetapan tersangka, Tiromsi Sitanggang mengaku kecewa dengan pihak kepolisian.
"Saya sangat kecewa. Apa yang menjadi mens rea (niat jahat), kalau dibilang saya ikut membunuh, boleh saya angkat tangan, saya orang Nasrani. Demi Tuhan saya tidak membunuh," tandasnya menyangkal.
Kronologi kasus
Kasus pembunuhan dosen 'killer' dimulai saat Rusman Maralen meninggal dunia pada 22 Maret 2024 silam.
Tersangka merekayasa sedemikian rupa dengan membuat skenario korban tewas karena kecelakaan.
Keluarga korban yang curiga lantas melaporkan kejadian ini ke polisi.
Tiromsi Sitanggang tampak menghindar dan berupaya menutupi kejahatannya.
Ia buru-buru membawa jenazah suaminya ke kampung halaman saat hendak diperiksa polisi.
Kapolsek Medan Helvetia, Kompol Alexander Putra Piliang menjelaskan, pihaknya kemudian melakukan pendalaman.
Polisi melakukan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) di rumah tersangka dan korban.
Hasilnya ditemukan bercak darah korban.
Tidak sampai di situ, polisi turut membongkar makam korban.
"Setelah diautopsi, petugas medis menemukan sejumlah luka di tubuh korban termasuk di kemaluannya," tambahnya.
Meskipun sudah ditetapkan sebagai tersangka, motif di balik pembunuhan yang diduga dilakukan oleh Tiromsi Sitanggang terhadap suaminya masih menjadi misteri.
Hal ini disebabkan karena Tiromsi hingga kini belum memberikan keterangan yang jelas dan tetap memilih bungkam.
"Motif masih kami dalami, karena sampai sekarang pelaku belum mengakui perbuatannya," ujar pihak kepolisian. Namun, polisi meyakini bahwa dengan bukti-bukti yang ada dan hasil olah tempat kejadian perkara (TKP), mereka dapat mengungkap kasus ini.
Saat ini, Tiromsi Sitanggang dikenakan Pasal 340 juncto Pasal 338 juncto Pasal 351 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dengan ancaman hukuman mati atau hukuman penjara maksimal 20 tahun.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]