WahanaNews.co | Pembunuh berantai Jepang, yang dijuluki Si
Jagal Twitter, dijatuhi
hukuman mati oleh hakim di pengadilan
Tokyo, dalam kasus yang mengguncang Negeri Sakura itu.
Vonis dijatuhkan pekan ini
setelah "netizen maut" bernama Takahiro
Shiraishi itu terbukti membunuh dan memutilasi sembilan korban yang semuanya
bertemu secara online.
Baca Juga:
Menunggu Penantian Perubahan Merek Twitter.com Jadi X.com
Dikutip dari
Daily Mail, Rabu (16 Desember 2020), Taka (30) mengaku membantai delapan wanita dan satu
pria dengan usia antara 15-26 tahun,
yang ditemuinya di platform media
sosial.
Tak itu saja, korban perempuan juga ditemukan mengalami pelecehan
seksual.
Menanggapi hukuman maksimal tersebut, pengacara menilai Taka harusnya menerima hukuman
penjara.
Baca Juga:
Netizen Sebut Mahfud MD Tak Bisa Bedakan Lebah Madu dan Tawon
Alasannya,
para korban memiliki kecenderungan
bunuh diri, yang dibuktikan dengan cuitan mereka di akun media sosial.
Karena itu,
kematian para korban tersebut dianggapnya sebagai "konsensus".
Namun,
hakim memutuskan hukuman mati bagi Taka, setelah pengadilan menyatakannya bertanggung jawab
secara pidana atas kematian para korban.
"Tak satu pun dari kesembilan korban setuju untuk dibunuh,
termasuk persetujuan tersirat," ujar Hakim
Ketua,
Naokuni Yano,
seperti dilaporkan NHK.
"Sungguh sangat menyedihkan, nyawa sembilan korban yang masih muda telah
direnggut. Martabat mereka diinjak-injak," kata Yano.
Yano menggambarkan pembunuhan Taka sebagai aksi yang sangat kejam
dalam sejarah kejahatan Jepang.
Hakim juga menyatakan,
secara mental,
Taka layak untuk bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut.
Ayah salah satu korban yang berusia 25 tahun, di pengadilan bulan lalu, menegaskan,
dirinya tidak akan pernah memaafkan Taka, bahkan jika dia sudah meninggal sekalipun.
"Bahkan sekarang, setiap kali melihat anak seusia mendiang
putriku, aku sering salah, mengira dia putriku. Rasa sakit ini tidak akan pernah
hilang. Kembalikan putriku"" cetusnya.
Saat horor Twitter ini terungkap, pada pagi Hari
Halloween 2017, polisi yang tiba di kediaman Taka di Zama, Kanagawa, mendapati pemandangan mengerikan.
Sembilan mayat dalam kondisi terpotong-potong, serta
240 bagian tulang disimpan dalam pendingin dan kotak peralatan.
Semuanya ditaburi kotoran kucing untuk menyembunyikan bukti.
Terungkap kemudian,
selama ini profil Twitter Taka
menampilkan gambar manga berupa sosok pria dengan leher yang diikat tali dan
pergelangan tangan dengan
luka irisan.
Laporan Japan Times,
nama akun Twitter Taka
dalam bahasa Inggris dapat diterjemahkan sebagai "algojo".
Dalam bio-nya, ia mengaku memiliki keahlian dalam praktik
"gantung menggantung".
"Aku membantu siapa saja yang benar-benar kesakitan. DM saja kapan
pun," tulisnya.
Sedangkan dalam postingannya, pada 21 Oktober, Taka mencuitkan serangkaian tweet yang mencurigakan, antara lain:
"Bullying ada di mana-mana,
di sekolah dan di tempat kerja."
"Pasti ada banyak orang di
tengah masyarakat yang menderita setelah mencoba bunuh diri, meski kasus mereka tidak dilaporkan dalam berita.. Aku
ingin membantu orang seperti itu."
Sekitar 435 orang hadir demi menyaksikan putusan mati Taka, meskipun pengadilan hanya menyediakan 16 kursi.
Laporan awal tahun
2017, korban pertama Taka adalah seorang wanita yang dihubunginya melalui Twitter.
Ia menawarkan diri untuk membantu keinginan korban bunuh diri, kemudian membunuh sang pacar untuk membungkamnya.
Taka disebut menggunakan taktik serupa untuk membunuh tujuh wanita
lainnya.
Laporan NHK menyebutkan,
salah seorang korban menghubungi Taka melalui
Twitter pada akhir September.
Ia mengaku tengah mencari partner
untuk membuat perjanjian bunuh diri. Korban
mencari partner karena mengaku takut mati sendirian.
Keduanya ternyata terekam kamera keamanan saat berjalan di luar stasiun kereta api, di dekat kediaman dan apartemen Taka.
Jepang memiliki tingkat bunuh diri tertinggi di antara negara-negara industri Kelompok
Tujuh, dengan lebih dari 20.000 orang
bunuh diri setiap tahun.
Meskipun tingkat bunuh diri telah
menurun sejak mencapai puncaknya pada tahun 2003, angka tersebut tetap tinggi
di kalangan dewasa muda dan anak sekolah.
Sementara itu, mengetahui adiknya hilang, sang kakak melapor ke
polisi pada keesokan
harinya.
Saat tengah mencari informasi tentang hilangnya si adik itu,di Twitter kakak
laki-laki korban dihubungi seorang wanita tak dikenal.
Wanita tersebut mengatakan adiknya bertemu Taka. Beruntung ia
setuju untuk bekerjasama untuk mencari tahu. Dibantu polisi, mereka membuat
janji palsu untuk bertemu Taka.
Dua penyelidik kemudian mengikuti Taka saat pulang ke
apartemennya. Saat membuka
pintu, polisi langsung bertanya,
apakah dia mengenal atau mengetahui keberadaan korban yang hilang.
Kala itu,
dengan dingin Taka menunjuk ke salah satu dari delapan pendingin, dan menjawab pendek.
"Dia ada di sini," katanya, seperti dikutip NHK
dari sumber investigasi.
Jepang menjadi satu
dari sedikit negara maju yang mempertahankan hukuman mati, dengan dukungan publik yang tetap tinggi.
Eksekusi terakhir dilakukan pada Desember 2019, ketika seorang pria Tiongkok digantung karena
membunuh empat anggota keluarga.
Sekitar 500 orang Jepang di
bawah usia 20 tahun bunuh diri setiap
tahun,
dan survei Yayasan Nippon tahun lalu menunjukkan satu dari empat orang
mempertimbangkan secara serius untuk
bunuh diri.
Dalam beberapa kasus, korban bunuh diri massal terjadi
setelah
bertemu dengan apa
yang disebut "situs bunuh diri".
Fenomena ini mendorong pemerintah menindak orang-orang yang
menggunakan internet untuk memosting keinginan terkait kematian mereka.
Isu ini pertama kali menjadi berita utama tahun 2005, saat total 91 orang melakukan "bunuh diri berkelompok" setelah saling
menghubungi secara online.
"Sudah lama menjadi tabu di Jepang untuk membicarakan kematian dan bunuh diri" tetapi dengan mudah ini dibicarakan di media sosial,"
ujar Akiko Mura, anggota eksekutif Befrienders Worldwide Tokyo kepada AFP pada 2017.
Mura mengatakan, Taka kemungkinan besar berhasil membuat para korban
percaya dengan meyakinkan mereka bahwa dia memahami keinginan untuk mati.
"Mereka mungkin mengira dia satu-satunya orang yang dengan tulus
mendengarkan masalah mereka," katanya.
Meski Taka terbukti
memanfaatkan media sosial untuk menyasar korban,
Mura
memperingatkan orang-orang yang depresi tetap membutuhkan kanal untuk
melampiaskan perasaan.
"Orang membutuhkan tempat di mana mereka dapat didengar. Tanpa
itu, aku khawatir jumlah kasus bunuh diri kemungkinan
akan meningkat," paparnya.
Empat hari setelah mayat korban ditemukan di apartemen Taka, di pinggiran Tokyo,
Twitter meluncurkan aturan baru berupa larangan bagi pengguna
untuk mempromosikan, mendorong,
atau menyakiti diri sendiri.
Namun, Twitter tetap memperbolehkan cuitan yang mengungkapkan keinginan bunuh diri. Nah, lho! [qnt]