WahanaNews.co, Kediri – Terkait kasus kematian BBM (14 tahun), santri asal Banyuwangi yang tewas diduga akibat dianiaya oleh empat santri senior, di sebuah pondok pesantren di Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Kementerian Agama (Kemenag) Jawa Timur angkat bicara.
Kepala Bidang Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur, Mohammad As'adul Anam, mengatakan, berdasarkan hasil investigasi, Pondok Pesantren PPTQ Al Hanifiyah tempat korban belajar belum terdaftar di Kemenag alias belum berizin.
Baca Juga:
Fajri Munthe Akan Perjuangkan Sarpras Pendidikan Dibawah Kemenag
"[Pesantren PPTQ Al Hanifiyah] belum memiliki izin," kata Anam kepada wartawan, Selasa, (27/2/2024) melansir VIVA.
Kendati belum berizin, Kemenag tidak bisa serta-merta menutup pesantren tersebut. Apalagi, lanjut Anam, pesantren tersebut belum memiliki izin operasional sehingga pencabutan izin tidak bisa dilakukan.
Dia menerangkan, PPTQ Al Hanifiyah mulai beroperasi sejak tahun 2014. Sampai saat ini, pesantren tersebut memiliki 93 santri, terdiri dari 74 santri putri dan 19 santri putra. Sebagian santri di sana belajar di sekolah formal di pesantren lain.
Baca Juga:
Kemenag Sultra Tekankan Pentingnya Integritas ASN dalam Pelaksanaan Tugas dan Pengabdian
Korban sendiri bersekolah di MTs Sunan Kalijogo di Pondok Pesantren Al Ishlahiyah. Namun, kata Anam, lokasi penganiayaan terjadi di Pesantren Al Hanifiyah.
"TKP kejadian itu ada di Pondok Al-Hanifiyah, bukan di Pondok Al-Islahiyah." Anam menyampaikan, Kemenag Jatim turut berbelasungkawa atas meninggalnya BBM.
Soal kasus kematian korban yang dianggap tak wajar, pihaknya menyerahkan penanganan itu sepenuhnya kepada pihak kepolisian.
Sebelumnya, kakak korban, Mia Nur Khasanah (22), menjelaskan, kasus itu bermula ketika pihak pondok pesantren mengantarkan jenazah korban ke keluarganya di Banyuwangi pada Sabtu, 24 Februari 2024.
Saat itu, pihak pesantren menyebut BBM meninggal karena terjatuh di kamar mandi. Namun, saat jenazah diangkat, ceceran darah sempat keluar dari keranda yang membawa jasad korban.
Karena curiga, keluarga kemudian meminta agar kain kafan dibuka. Permintaan itu sempat ditolak oleh FTH, sepupu korban yang ikut mengantar jenazah. FTH mengatakan bahwa jenazah korban sudah disucikan.
"Jadi enggak perlu dibuka [kain kafan] itu. Tapi kami tetap ngotot karena curiga adanya ceceran darah keluar dari keranda. Di situ perasaan saya dan ibu campur aduk," ujar Mia kepada wartawan, Senin, (26/2/2024).
Namun, pihak keluarga tetap memaksa dan pengantar jenazah tak mampu mencegah. Begitu kain kafan dibuka, pihak keluarga langsung histeris ketika melihat kondisi jenazah.
"Luka lebam di sekujur tubuh ditambah ada luka seperti jeratan leher. Hidungnya juga terlihat patah,” ujar Mia.
Dia mengungkapkan, terdapat juga banyak luka sundutan rokok di kaki korban. Termasuk satu luka menganga pada dada korban. Dari situ keluarga menduga kuat korban meninggal bukan karena jatuh di kamar mandi.
“Ini sudah pasti bukan jatuh, tapi dianiaya,” kata Mia.
Pihak keluarga kemudian melapor ke Kepolisian Sektor Glenmore, Banyuwangi. Jenazah korban sempat dibawa ke RSUD Blambangan. Karena lokasi kejadian di Kediri, kasus itu kemudian dilimpahkan ke Polres Kediri.
Polres Kediri menindaklanjuti itu dan akhirnya menetapkan santri senior di sana sebagai tersangka. Mereka ialah NN (18) siswa Kelas 11 asal Sidoarjo; MA (18), siswa Kelas 12, warga Kabupaten Nganjuk; AK (17), warga Surabaya; dan AF (16) asal Denpasar, Bali.
[Redaktur: Alpredo Gultom]