WahanaNews.co | Komnas HAM mendesak sidang pada kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga, Kabupaten Mimika, Papua, dilaksanakan secara independen.
Proses peradilan dinilai telah mengabaikan aksesibilitas bagi keluarga korban untuk mengikuti seluruh tahapan persidangan.
Baca Juga:
Kasus Vina-Eki Cirebon: Kesimpulan Komnas HAM Simpulkan 3 Pelanggaran Polisi
Hal itu berdasarkan hasil pemantauan Komnas HAM dalam tiga persidangan terpisah di Pengadilan Militer III-19 Jayapura pada 10, 19, dan 20 Januari 2023.
"Komnas HAM mendesak agar persidangan dilakukan secara independen dan imparsial sesuai dengan prinsip persidangan yang adil (fair trial) menurut UU HAM dan Konvenan Hak Sipil dan Politik," kata Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro dalam keterangan resmi, Sabtu (21/1).
Atnike mengatakan proses persidangan tidak berjalan efektif lantaran minimnya kesiapan perangkat pengadilan, meskipun sidang dapat dihadiri dan diikuti oleh keluarga korban dan masyarakat secara langsung dengan pengamanan dari Kepolisian dan TNI.
Baca Juga:
Kasus Kematian Vina-Eki Cirebon: Komnas HAM Rekomendasi Polri Evaluasi Polda Jabar-Polres
Atnike memaparkan ketidakefektifan tersebut tercermin antara lain dalam pelaksanaan sidang yang tak jelas dan tak transparan.
Jadwal sidang disebut tak sesuai dengan yang tertera dalam laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) sehingga menyulitkan keluarga korban mengikuti proses persidangan.
Kendala jaringan internet saat pemeriksaan saksi pelaku sipil dan barang bukti juga dinilai menghambat proses persidangan.
"Hal ini berbeda dengan saksi dari keluarga korban yang bersedia hadir dari Kabupaten Mimika ke Jayapura guna memberikan kesaksiannya secara langsung," ujarnya.
Atnike juga berujar ruang sidang yang kurang proporsional tak bisa mengakomodasi keluarga korban dan masyarakat yang ingin mengawal persidangan. Jumlah pengunjung sidang disebut sekitar 50-100 orang.
Lebih lanjut, Atnike menggarisbawahi aksesibilitas keluarga korban mengikuti persidangan karena proses peradilan dibuat terpisah.
"Proses pertanggungjawaban pidana (juga) tidak maksimal karena proses hukum para terdakwa dari anggota militer dan sipil diadili secara terpisah, saksi pelaku sipil juga tidak dapat dihadirkan secara langsung dalam persidangan terdakwa anggota TNI," katanya.
"Selain itu, tersangka sipil hingga saat ini belum menjalani proses persidangan melalui pengadilan umum dan informasi terakhir berkas perkara masih di pihak Kejaksaan Negeri Timika," lanjut dia.
Keluarga korban, kata dia, juga tak puas dengan konstruksi dakwaan Oditural Militer Tinggi Makassar terhadap terdakwa Mayor Helmanto Fransiskus Daki.
Pasalnya, Helmanto dijerat Pasal 480 KUHP sebagai dakwaan primer dan Pasal 365 KUHP sebagai dakwaan pertama subsidair. Sementara Pasal 340 KUHP dijadikan dakwaan pertama lebih subsidair.
"Hal ini berimplikasi pada putusan yang sangat ringan bagi pelaku sehingga kasus serupa dimungkinkan dapat terulang kembali," ujarnya.
Keluarga serta kuasa hukum korban juga disebut menilai bahwa proses persidangan terhadap Helmanto digelar maraton.
Lebih dari itu, Atinike juga mengatakan keluarga korban meminta perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) selama proses persidangan kasus berlangsung.
Atas temuan-temuan tersebut, Komnas HAM juga meminta Panglima TNI Laksamana Yudo Margono dan Mahkamah Agung melakukan pengawasan agar proses peradilan berjalan efektif dan akuntabel.
"Komnas HAM RI (juga) meminta LPSK untuk memberikan perlindungan serta pemulihan bagi keluarga para korban," demikian bunyi sikap Komnas HAM.
LBH Papua desak hukuman berat bagi pelaku
Lembaga Bantuan Hukum Papua turut menyuarakan keprihatinan atas persidangan kasus mutilasi tersebut.
LBH Papua mengecam persidangan yang digelar secara terpisah antara militer dan sipil yang disebut melakukan pembunuhan bersama-sama.
Padahal, pemisahan persidangan menurut mereka hanya bisa dilakukan setelah ada penelitian. Sementara kejaksaan dan oditur militer disebut tak melakukan hal tersebut.
Mereka juga mempertanyakan pasal yang dikenakan kepada Helmanto yang dipandang mengabaikan dugaan pembunuhan berencana.
"Mengabaikan Pasal 340 tentang pembunuhan berencana dengan hukuman tertinggi adalah mati atau penjara seumur hidup atau 20 tahun penjara sebagaimana telah disebutkan dalam Surat Dakwaan Oditur secara langsung menunjukkan bahwa sepertinya praktek peradilan ini memang telah disetting sedemikian rupa," bunyi keterangan LBH Papua, Sabtu.
LBH mengecam tindakan jaksa dan oditur militer yang dinilai tak melakukan penelitian sebagaimana mestinya dan mengecam Mahkamah Agung yang tidak memproses perkara pembunuhan Berencana dan mutilasi.
Mereka juga mendesak agar pelaku diberikan hukuman seberat-beratnya.
"Wajib berikan putusan yang seberat-beratnya kepada Oknum Anggota TNI Pelaku Pembunuhan dan Mutilasi 4 Warga Sipil Nduga demi memenuhi rasa keadilan Korban dan memberikan efek jera kepada pelaku,"
Sebelumnya, peristiwa pembunuhan dan mutilasi terjadi pada Selasa (22/8) sekitar pukul 21.50 WIT di SP 1 Distrik Mimika Baru, Kabupaten Mimika.
Aksi itu diduga dilakukan oleh enam orang anggota TNI dan tiga warga sipil.
Setelah melakukan pembunuhan, para pelaku membawa para korban ke Sungai Kampung Pigapu, Distrik Iwaka, Kabupaten Mimika, untuk dibuang dengan terbungkus dalam karung.
Sebelum dibuang, empat korban dimutilasi dan anggota badan ditaruh dalam enam karung berbeda. Karung itu selanjutnya diisi batu-batu dan dibuang ke Sungai Kampung Pigapu, Distrik Iwaka, Kabupaten Mimika.
Kabid Humas Polda Papua Kombes Kamal Ahmad mengatakan modus para pelaku melakukan aksinya yakni berpura-pura menjual senjata api. Korban pun hendak membeli senjata api dari para pelaku.
Lalu para pelaku menyiapkan benda menyerupai senjata api untuk meyakinkan korban. [rgo]