WahanaNews.co | Pengajar Bidang Studi Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Nathalina Naibaho mengungkapkan faktor ekonomi bukanlah satu-satunya alasan pendorong terjadinya kasus penculikan anak.
"Dendam terhadap keluarga korban, keinginan untuk menjadikan korban sebagai anak, serta eksploitasi seksual terhadap anak melalui child grooming adalah beberapa faktor lain yang mendorong terjadinya kasus penculikan anak," kata Nathalina Naibaho di Kampus UI Depok, Sabtu (21/12023) dilansir dari ANTARA.
Baca Juga:
Pegawai BUMN Jadi Bulan-bulanan Warga Cianjur, Diduga Culik dan Lecehkan Siswi SMP
Dikatakannya pada kasus kejahatan yang berulang, Nathalina melihat adanya persoalan resosialisasi pelaku tindak pidana sehingga dia kembali berurusan dengan sistem peradilan pidana.
Ini dapat disebabkan oleh belum mampunya seorang pelaku melanjutkan kehidupan yang baru dengan pekerjaan yang lebih baik, sehingga perekonomiannya tetap sulit dan niat untuk melakukan hal yang salah muncul kembali.
Ia menjelaskan hukum di Indonesia mengatur penculikan dan kasus pelecehan terhadap anak. Dalam perspektif hukum, delik penculikan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 328 dan Pasal 333.
Baca Juga:
Polsek Perdagangan Ringkus Tiga Pelaku Pencurian Rumah dengan Barang Bukti Senilai 3,5 Juta
Untuk korban anak, aturan yang diterapkan adalah Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2022 dan perubahannya dalam UU No. 35 Tahun 2014 dan UU No. 17 Tahun 2016).
"Jika dalam pemeriksaan kepolisian (yang dikuatkan hasil visum et repertum) ditemukan adanya indikasi perbuatan cabul atau kekerasan seksual, pasal lain dalam UU Perlindungan Anak akan diterapkan melalui lembaga gabungan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 65 KUHP dan dapat memperberat ancaman pidana bagi pelaku," katanya.
Secara singkat, dasar hukum untuk kasus penculikan anak yang disertai dengan pencabulan atau kekerasan seksual adalah Pasal 76E dan Pasal 76F UU 35/2014 jo Pasal 82 UU 17/2016 dan Pasal 83 UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 KUHP.
“Dalam hal ini, hukuman bagi pelaku ditambah sepertiga, yaitu ancaman hukuman maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar. Korban berhak mendapat rehabilitasi, mengajukan ganti rugi dalam bentuk restitusi, mengajukan pemasangan alat pendeteksi elektronik pada pelaku, dan mengumumkan identitas terdakwa ke publik,” kata Nathalina.
Dari banyaknya kasus penculikan terhadap anak, Nathalina melihat adanya pola yang dapat diidentifikasi.
Modus operandi yang biasanya dilakukan pelaku adalah dengan membujuk dan mengelabui korban secara manipulatif.
Pelaku memberi makanan dan minuman, mengajak ngobrol dan jalan-jalan, atau menunjukkan mainan/permainan, gambar, dan tayangan yang menarik bagi anak.
Menurut Nathalina, untuk mencegah terjadinya kasus penculikan anak, diperlukan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan orang tua. Langkah preventif dilakukan melalui pengawasan yang proporsional dan tepat, baik melalui teknologi (CCTV, patroli virtual, aplikasi panic button) maupun dengan meningkatkan kewaspadaan masyarakat di area umum, seperti sekolah, tempat les, taman bermain, pusat perbelanjaan, dan transportasi publik.
Anak harus diberi edukasi agar meminta izin kepada orang tua atau keluarga dan memberi tahu tujuannya jika hendak pergi dengan siapa pun. Anak juga harus diajarkan untuk menolak ajakan, ancaman, dan paksaan dari orang yang tidak dikenal.
Selain itu, jika terjadi kasus penculikan, langkah represif dapat dilakukan dengan melaporkan penculikan pada pihak berwajib agar korban mendapatkan perlindungan yang optimal dan pelaku dapat dihukum secara pidana. [rgo]