WahanaNews.co, Jakarta – Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri mengungkap kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan modus eksploitasi menjadi pekerja prostitusi di Australia.
"Pengungkapan tindak pidana perdagangan orang dengan modus membawa warga negara Indonesia (WNI) ke luar negeri, yaitu ke Australia, untuk dieksploitasi secara seksual," kata Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Pol Djuhandhani Rahardjo Puro dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (23/7/2024) melansir ANTARA.
Baca Juga:
Pasutri WNA Australia di Balu Terlibat Bisnis Prostitusi Jadi Tersangka
Ia mengatakan, pengungkapan kasus ini merupakan hasil kerja sama antara Polri dengan Australian Federal Police (AFP) yang dinamakan "Operation Mirani".
Dalam kasus tersebut, kata dia, penyidik mengungkap dua tersangka, yakni FLA dan SS alias Batman. Tersangka FLA berperan sebagai perekrut korban dengan bertugas menyiapkan visa dan tiket keberangkatan korban ke Sydney, Australia.
Ia mengatakan, unsur TPPO yang ditemukan dalam kasus ini adalah tersangka FLA merekrut dan memberangkatkan para korban secara non-prosedural, yakni menggunakan dokumen palsu untuk mengurus visa, sehingga korban tereksploitasi secara seksual.
Baca Juga:
Polisi Gerebek Prostitusi Online di Aceh, 3 Pasangan Tak Sah Ditangkap
Sementara itu, SS alias Batman berperan sebagai koordinator di beberapa tempat prostitusi di Sydney.
"Tersangka Batman menjemput, menampung, dan mempekerjakan para korban di beberapa tempat prostitusi di Sydney, serta memperoleh keuntungan dari korban," ungkap dia.
Pengungkapan kasus ini berawal dari adanya informasi dari AFP pada tanggal 6 September 2023 tentang dugaan adanya TPPO yang melibatkan WNI dengan modus menjadi pekerja seks komersial di Sydney. Kemudian, informasi tersebut menjadi bahan penyelidikan penyidik Polri hingga akhirnya berhasil menangkap FLA pada 18 Maret 2024.
"Dari pengakuan tersangka, jaringan ini sudah melakukan aktivitas sejak tahun 2019 di mana WNI yang direkrut dan diberangkatkan serta dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial di Australia kurang lebih sebanyak 50 orang, dan tersangka mendapatkan keuntungan sekitar Rp500 juta," ucap dia.
Keterangan tersebut kemudian diteruskan kepada AFP dan menjadi tambahan bukti pendukung bagi AFP untuk melakukan proses hukum kepada tersangka SS alias Batman. Akhirnya, tersangka Batman ditangkap pada tanggal 10 Juli 2024, dan kini sedang ditahan oleh kepolisian Australia.
Barang bukti yang disita salah satunya adalah 28 paspor milik WNI yang saat ini tengah didalami apakah paspor tersebut milik korban atau bukan.
Tersangka dijerat dengan Pasal 4 UU RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda paling banyak Rp600 juta.
Untuk langkah selanjutnya, Dittipidum Bareskrim Polri akan terus bekerja sama dengan AFP, Divhubinter Polri, dan Kementerian Luar Negeri untuk melakukan penelusuran lebih lanjut.
"Kerja sama ini untuk menelusuri tersangka lainnya dan untuk membantu mengidentifikasi para korban yang telah diberangkatkan oleh jaringan ini," pungkas dia.
Perekrut korban TPPO bermodus membawa Warga Negara Indonesia (WNI) ke Australia untuk dieksploitasi menjadi pekerja prostitusi, mengharuskan korban memberikan jaminan berupa utang.
Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Pol. Djuhandhani Rahardjo Puro dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa, (23/7/2024 mengatakan informasi tersebut didapatkan setelah penyidik menyita barang bukti laptop milik tersangka berinisial FLA yang berperan sebagai perekrut dan menyiapkan visa serta memberangkatkan korban.
“Ditemukan file draft perjanjian kerja sama untuk bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK) di dalam laptop tersangka yang mana perjanjian tersebut diberikan kepada calon PSK sebelum berangkat ke Sydney,” kata dia.
Surat kerja sama itu tidak memuat hak-hak korban, seperti asuransi, gaji, jam kerja, maupun jenis kerja.
Selain itu, korban juga disodorkan perjanjian utang piutang sebanyak Rp50 juta dengan alasan sebagai jaminan.
“Apabila para korban memutus kontrak atau tidak bekerja lagi dalam kurun waktu tiga bulan, maka korban harus membayar utang tersebut,” ucapnya.
Hasil penelusuran penyidik juga menemukan adanya barang bukti berupa catatan pembayaran dan pemotongan gaji dari korban yang dikirimkan kepada tersangka FLA sebagai bentuk laporan dan kontrol dari tersangka.
Selain itu, penyidik menyita barang bukti lainnya, yaitu satu buah paspor milik tersangka FLA, dua buah buku tabungan Tahapan BCA, dua kartu ATM, tiga buah ponsel, satu unit laptop, satu buah hard disk, dan 28 paspor milik WNI. Adapun puluhan paspor itu saat ini tengah diselidiki apakah milik korban atau bukan.
Berdasarkan pengakuan tersangka, jaringan ini telah beraktivitas sejak tahun 2019. Jumlah WNI yang direkrut menjadi PSK di Australia berjumlah kurang lebih 50 orang.
“50 orang korban ini masih ada juga yang di Australia dan ada juga yang sudah kembali ke Indonesia. Beberapa orang yang sudah pulang ini adalah pulang sendiri dan setelah kita cari, juga ada beberapa korban yang tidak mau memberikan keterangan,” kata dia.
Ia menyebut, upah yang didapatkan para korban bervariatif berdasarkan jam kerja dan asal korban kebanyakan berasal dari Pulau Jawa. Ia juga mengungkapkan bahwa para korban direkrut secara hubungan pertemanan dari kerabat yang sudah pernah bekerja di sana.
Diketahui, penyidik Dittipidum Bareskrim Polri bekerja sama dengan Australia Federal Police (AFP) untuk mengungkap kasus ini. Hasilnya, terungkap tersangka lain berinisial SS alias Batman, seorang WNI yang kini telah menjadi WN Australia.
Tersangka SS berperan sebagai koordinator di beberapa tempat prostitusi di Sydney, Australia. Ia berperan menjemput, menampung, dan mempekerjakan para korban serta memperoleh keuntungan dari korban. Saat ini, SS tengah ditahan oleh kepolisian Australia.
Tersangka dijerat dengan Pasal 4 UU RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda paling banyak Rp600 juta.
[Redaktur: Alpredo Gultom]