WAHANANEWS.CO, Jakarta - Kasus kematian seorang diplomat Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI berinisial ADP (39) terus menyisakan tanda tanya.
Sudah lebih dari sepekan berlalu sejak jasadnya ditemukan di sebuah kamar kos di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, namun pihak kepolisian belum juga mengumumkan secara resmi penyebab kematiannya.
Baca Juga:
Razman Arif Dituntut 2 Tahun, Hotman Paris: Jangan Ada Pengacara Seperti Dia
Kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, menilai kasus ini seharusnya tergolong mudah untuk dipecahkan, mengingat berbagai langkah penyelidikan telah dilakukan.
“Wong kasusnya mudah,” kata Adrianus, melansir Kompas.com, Rabu (16/7/2025).
Ia menyayangkan lambatnya kinerja Polda Metro Jaya dalam menyampaikan hasil visum maupun investigasi lainnya ke publik.
Baca Juga:
Diduga Rem Blong, Truk BBM Industri Terbalik di Sumbul Dairi, Sopir Tewas
Padahal, menurutnya, tahapan forensik dan pemeriksaan digital mestinya tidak membutuhkan waktu lebih dari beberapa hari.
“Bicara mengenai visum, maka visum itu satu hari, dua hari. Kalau pemeriksaan laboratoris, katakan saja dua, tiga hari. Pemeriksaan digital, dua, tiga hari. CCTV, satu hari. Jadi apalagi?” ujarnya.
Ia juga menyebut, polisi telah menggelar olah tempat kejadian perkara (TKP) sebanyak tiga kali di kamar kos ADP, yang ukurannya tidak besar.
“Sudah tiga kali diacak-acak di TKP sekecil itu. Jadi apalagi? Jangan-jangan ini semacam kebingungan Polri saat mereka mengumumkan jika misalnya yang ditemui adalah sesuatu hasil yang tidak menyenangkan,” lanjut Adrianus.
Ia menduga korban mengalami henti napas akibat tidak mendapatkan suplai oksigen. Namun, karena polisi belum mengumumkan secara resmi, banyak spekulasi yang bermunculan.
“Tapi sama sebab matinya saja, polda tidak kunjung memberi tahu tentang apa sebab matinya, itu yang membuat kemudian semua analisa itu menjadi liar,” tegasnya.
Menurut Adrianus, polisi seharusnya sudah mengetahui bukan hanya penyebab, tapi juga motif kematian ADP. Ia menduga keterlambatan ini disebabkan oleh sensitivitas status korban sebagai diplomat.
“Mungkin enggak enak dengan masyarakat, enggak enak dengan komunitas diplomat. Makanya sekarang semacam, ‘ini gimana ngomongnya ya?’” ujarnya.
Ia juga menyinggung bahwa sebagai diplomat, korban mewakili wajah negara di forum internasional. Oleh karena itu, menurutnya, kasus ini berpotensi berdampak politis, apalagi saat ini Presiden Prabowo masih berada di luar negeri.
“Saya misalnya menduga secara bercanda, begitu presiden kembali, lalu diumumkan,” ucapnya.
Diketahui, ADP ditemukan dalam kondisi tak wajar pada 8 Juli 2025. Ia ditemukan tergeletak di atas kasur, kepala terlilit lakban kuning, dan tubuhnya tertutup selimut biru.
Polisi mengamankan sejumlah barang bukti, termasuk lakban, kantong plastik, dompet, serta obat-obatan ringan di lokasi kejadian.
Sidik jari ADP ditemukan di permukaan lakban, namun penyidik belum dapat memastikan apakah lakban itu dipasang sendiri atau ada keterlibatan pihak lain.
Komunikasi terakhir korban dengan istrinya terjadi pada malam sebelumnya, 7 Juli 2025, sekitar pukul 21.00 WIB. Ketika sang istri tidak mendapat jawaban keesokan paginya, ia meminta penjaga kos untuk memeriksa kondisi suaminya.
Setelah membuka paksa jendela yang ternyata telah dicongkel, jasad ADP ditemukan.
Meski tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan maupun barang yang hilang, penyebab pasti kematian korban belum diumumkan hingga kini.
ADP adalah lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan berasal dari Sleman. Ia tinggal seorang diri di Jakarta, sementara istrinya berada di Yogyakarta.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]