WAHANANEWS.CO, Jakarta - Dalam peringatan 100 tahun Sitor Situmorang, sosok maestro sastra Indonesia, Sanggar Tari Jolo New Samosir bersama Pelestari Opera Batak Thompson Hs menghadirkan perayaan budaya yang megah di tanah kelahirannya.
Dimulai pada Rabu, 12 Februari 2025, rangkaian acara ini mencakup pelatihan, diskusi publik, dan pementasan Opera Kolosal Batak Pulo Batu—sebuah penghormatan bagi warisan Sitor—yang digelar langsung di lokasi pemakamannya di Desa Turpuk Limbong, Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara.
Baca Juga:
Ranking Terbaru! Suku Batak Pimpin Daftar Lulusan Sarjana Terbanyak di Indonesia
Sitor Situmorang, sastrawan besar Angkatan 45, lahir di Desa Harian Boho pada 2 Oktober 1924 dan menghembuskan napas terakhirnya di Apeldoorn, Belanda, pada 20 Desember 2014.
Jasadnya tidak langsung kembali ke tanah kelahiran, melainkan lebih dulu disemayamkan dengan penghormatan tinggi di Galeri Nasional Jakarta sebelum akhirnya dibawa pulang dan dikebumikan di Samosir pada 1 Januari 2015—menepati pesan terakhirnya untuk kembali ke pangkuan bumi Batak.
Penyambutan jenazahnya kala itu dilakukan oleh Pemerintah Pusat di Jakarta, serta Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang dipimpin langsung oleh Gubernur dan Pangdam II Bukit Barisan di Bandara Kualanamu pada 31 Desember 2014.
Baca Juga:
Saut Poltak Tambunan, Sastrawan Batak Pertama yang Raih Penghargaan Sastra Rancage
Di Samosir, masyarakat setempat, komunitas spiritual Batak, serta Pemerintah Kabupaten turut menyiapkan penyambutan sejak tiga hari sebelumnya. Sambutan besar ini menegaskan bahwa Sitor bukan hanya milik Indonesia, tetapi juga bagian dari identitas Sumatera Utara dan Tanah Batak.
Menurut Pelestari Opera Batak, Thompson Hs, perayaan 100 tahun Sitor telah lebih dulu digelar di berbagai tempat, termasuk Belanda, Prancis, Italia, Jawa, Jakarta, Balige, Bali, dan Dolok Sanggul.
Namun, sebagai pendiri pusat latihan Opera Batak di Siantar, peringatan di Samosir memiliki makna khusus.
"Kami memandangnya dari sudut opera Batak karena Sitor juga menulis naskah drama selain hampir seribu puisi yang telah ia ciptakan," ujar Thompson Hs.
Sebagai seorang wartawan, Sitor pernah dikirim ke Yogyakarta untuk meliput gejolak revolusi, yang kemudian membentuk gaya kepenulisannya.
"Ia memiliki kebiasaan membaca yang tinggi, bersekolah dari Balige, Sibolga, Tarutung, hingga akhirnya ke Jakarta. Literasinya sangat kuat, sehingga ia dikenal sebagai bagian dari Angkatan 45," jelas Thompson.
Meski dikenal luas, Sitor tetap menjalani hidup dengan kesederhanaan. "Ia adalah seorang Marhaenis, seorang pengikut Soekarno, yang tidak menginginkan kemewahan.
Bahkan sebelum wafat, ia sempat menyatakan keinginan untuk dikremasi, namun karena pertimbangan tradisi, akhirnya ia dimakamkan secara adat Batak," tambahnya.
Sementara itu, Pemimpin Sanggar Seni Jolo New Samosir, Perri Sagala, mengungkapkan bahwa perayaan ini mendapat dukungan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui "Dana Indonesiana."
Selain diskusi dan pelatihan, pementasan Opera Batak "Pulo Batu" menjadi salah satu agenda utama.
"Kami ingin melibatkan generasi muda, mulai dari tingkat SD, SMP, hingga SMA dalam pertunjukan ini. Tujuannya adalah mengembangkan potensi mereka, mengenalkan karya Sitor Situmorang, dan menumbuhkan kecintaan terhadap budaya sendiri melalui Opera Batak," ungkap Perri.
Sebanyak 40 peserta dari tiga kecamatan—Sianjur Mula-mula, Pangururan, dan Harian—ikut serta dalam pementasan ini. Para siswa dari berbagai sekolah akan berperan dalam pertunjukan kolosal tersebut.
Selain berdampak pada seni dan budaya, kegiatan ini juga diharapkan memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Panitia berencana melibatkan UMKM lokal dalam penyediaan konsumsi dan kebutuhan lainnya selama acara berlangsung.
[Redaktur: Rinrin Kaltarina]