WAHANANEWS.CO, Jakarta - Pemerintah tengah berupaya keras menata ulang sistem penyaluran bantuan sosial agar lebih tepat sasaran. Salah satu langkah terbesarnya adalah dengan menerapkan sistem data tunggal berbasis verifikasi dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Menteri Sosial Saifullah Yusuf menekankan bahwa kesenjangan data antarinstansi menjadi biang dari persoalan bansos tak tepat sasaran selama ini.
Baca Juga:
Sekolah Rakyat, Sekolah Unggulan Khusus untuk Warga Miskin
“Banyaknya bansos tidak tepat sasaran, hulunya adalah data yang tidak sinkron antarkementerian, lembaga, dan pemerintah daerah,” kata Gus Ipul dalam siaran persnya, Rabu (16/7/2025).
Hal ini disampaikannya dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI yang digelar di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen RI, Jakarta, Selasa (15/7/2025), dipimpin oleh Felly Estelita Rontuwene.
Ia menjelaskan, untuk mengatasi persoalan tersebut, Presiden telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2025 yang menugaskan BPS sebagai satu-satunya lembaga yang memproses dan menetapkan data tunggal.
Baca Juga:
Program Sekolah Rakyat Jadi Prioritas Nasional, Kelembagaan Disiapkan Kemensos
“Apakah data hari ini sudah sempurna? Belum. Namun, kami sudah sepakat memulainya bersama,” ujar Gus Ipul.
Ia mengungkapkan, saat ini kuota penerima bantuan sosial baru mencakup 96,8 juta jiwa. Padahal, untuk menjangkau seluruh masyarakat hingga desil ke-4, dibutuhkan minimal 112 juta penerima.
“Penduduk kita sebanyak lebih dari 280 juta. Karena basis kita itu kuota, kami memilih prioritas bagi mereka yang paling membutuhkan,” katanya.
Dengan koordinasi lintas kementerian dan lembaga, Gus Ipul berharap penyaluran bansos ke depan akan lebih akurat dan tidak ada lagi warga miskin yang kesulitan mendapatkan layanan kesehatan.
“Mudah-mudahan ibu dan bapak sekalian, dengan hulunya nanti dari BPS, kami sebagai pihak yang ikut pemutakhiran dan kemudian menetapkan PBI, (semoga) tidak ada lagi pasien yang ditolak rumah sakit. Ini yang sedang kami coba,” tambahnya.
Salah satu konsekuensi penerapan Inpres 4/2025 adalah penonaktifan lebih dari 8 juta data penerima bantuan iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Penonaktifan dilakukan berdasarkan hasil verifikasi lapangan (ground check) yang dilakukan Kemensos dan BPS.
“Kuota tetap. Namun, dialihkan kepada penerima manfaat yang kami anggap lebih berhak daripada 7 juta sebelumnya,” tegas Gus Ipul.
Ia menyebut, ada sekitar 2 juta penerima yang ternyata tidak berhak mendapatkan PBI. Penilaian dilakukan melalui sistem desil dalam Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN).
“Maka kemudian, jumlahnya ketemu 7 juta lebih, tambahan 800.000 jadi 8 juta lebih sekarang (tidak layak PBI),” katanya.
Gus Ipul juga membuka ruang reaktivasi bagi masyarakat yang merasa layak menerima PBI namun datanya dinonaktifkan.
Reaktivasi dapat dilakukan melalui dua jalur: formal dan partisipatif. Jalur formal mencakup pelaporan melalui RT/RW, kelurahan, dinas sosial, hingga kepala daerah. Sementara jalur partisipatif dilakukan melalui aplikasi Cek Bansos.
“Dengan menyertakan beberapa hal yang diperlukan supaya kami bisa verifikasi. Ada 39 pertanyaan yang bisa dijawab, untuk kemudian disesuaikan dengan kriteria BPJS,” jelas Gus Ipul.
Aplikasi Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial Next Generation (SIKS-NG) juga digunakan untuk mendukung proses verifikasi oleh dinas sosial.
Hingga saat ini, dari 8 juta data yang dinonaktifkan, baru 25.628 atau sekitar 0,3 persen yang mengajukan reaktivasi.
Dari jumlah tersebut, 1.822 usulan masih menunggu persetujuan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin), 2.578 telah disetujui namun belum diaktifkan BPJS, 18.869 sudah kembali aktif sebagai peserta PBI-JK, dan 2.359 telah aktif namun pindah segmen.
Rapat kerja ini turut dihadiri oleh sejumlah pejabat tinggi negara, di antaranya Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti, Wakil Mensos Agus Jabo Priyono, Dirut BPJS Kesehatan Ghufron Mukti, dan Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional Nunung Nuryanto.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]