Jakarta Wahana News, Sektor kesehatan merupakan salah satu sektor strategis yang menjadi prioritas KPK dalam upaya pencegahan korupsi setelah sebelumnya KPK melakukan upaya penindakan pada sektor ini.
Salah satunya terkait alat kesehatan (alkes). Lemahnya regulasi dan tata kelola membuat pengadaan alkes rawan korupsi."Pemborosan alkes yang tidak terpakai di beberapa rumah sakit karena tidak sesuai spesifikasi, pemeliharaan yang buruk, ataupun kurangnya tenaga SDM yang mengoperasikan merupakan potret buruknya tata kelola alkes secara umum yang mengakibatkan inefisiensi dalam penggunaan uang negara," kata Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan, di Gedung KPK, Rabu, (16/1/2019)
Baca Juga:
OTT KPK Bengkulu, Calon Gubernur Petahana Dibawa dengan 3 Mobil
Dalam kajian tahun 2018, KPK fokus pada tiga aspek terkait tata kelola alkes, yaitu premarket, placing on market, dan postmarket. KPK menemukan sejumlah permasalahan terkait regulasi dan kelembagaan.
Tidak adanya regulasi kunci untuk standarisasi tata kelola alkes, seperti: regulasi standar nomenklatur alkes yang beredar; standar kebutuhan dan spesifikasi alkes; dan pedoman pemilihan alkes yang sesuai dengan kebutuhan di fasilitas kesehatan, menyebabkan banyaknya kasus pengadaan alkes yang tidak sesuai kebutuhan, tidak sesuai spesifikasi dan/atau pembelian alkes yang berlebihan.
Terkait kelembagaan, KPK menemukan bahwa tidak dipisahnya peran regulator dan operator yang dijalankan oleh Ditjen Farmalkes-Kemenkes mengakibatkan tidak efektifnya mekanisme checks and balances dalam tata kelola alkes.
Baca Juga:
Soal Pimpinan Baru KPK: Pakar Hukum Nilai Independensi KPK Terancam
KPK juga menemukan keterbatasan organ pengawasan alkes beserta fasilitas pendukungnya. Keterbatasan ini mengakibatkan kalibrasi alkes menjadi terbatas. Saat ini hanya sekitar 25-28% alkes yang terkalibrasi di Indonesia.
Hal ini meningkatkan risiko penggunaan alkes yang tidak aman dan kualitasnya di bawah standar.
Permasalahan lainnya adalah belum optimalnya mekanisme dan proses pendaftaran produk alkes yang akan tayang dalam e-catalogue alkes.
Dari data transaksi e-catalogue tahun 2017 senilai sekitar Rp13,8 Triliun baru sekitar 50% belanja alkes melalui APBN dan APBD yang dilaksanakan melalui e-catalogue. Sehingga, pengadaan alkes secara konvensional dan rentan korupsi masih tinggi.
Selain itu, tidak adanya standarisasi komponen pembentuk harga alkes untuk tayang di e-catalogue, mengakibatkan proses negosiasi tidak terstandar dan sulitnya terbentuk harga terbaik untuk alkes.
Dari hasil kajian ini, KPK merekomendasikan Kementerian Kesehatan sebagai regulator agar menyempurnakan regulasi sekaligus memperbaiki aspek kelembagaan dengan merancang peta jalan untuk merevitalisasi kelembagaan pengelolaan alkes, dan kepada Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) untuk menyusun komponen harga dasar, evaluasi harga produk dan e-catalogue serta sosialisasi kepada pihak-pihak terkait.
KPK akan melakukan pemantauan dan evaluasi atas implementasi rencana aksi tersebut. (Whn1)