WahanaNews.co.id, Jakarta - Kehendak kebudayaan bangsa Indonesia, ditentukan oleh UUD 1945. Harapan reformasi pemimpin sebagai solusi tapi ternyata merupakan kelanjutan masalah.
Ke depan terjadi masalah yang lebih besar lagi, karena pendekatan yang diharapkan berdasarkan UUD 1945 tapi ternyata dalam perjalanannya malah semakin jauh.
Baca Juga:
The Lead Institute Universitas Paramadina Gelar Diskusi Kepemimpinan Profetik dan Pilkada 2024
Demikian disampaikan Eros Djarot pada Diskusi Publik dengan tema "Ancaman Matinya Demokrasi Indonesia" di Universitas Paramadina, Senin (30/10/2023). Diskusi tersebut diselenggarakan secara hybrid dihadiri peserta yang terdiri dari mahasiswa, dosen, aktivis, ekonom, dan masyarakat umum.
"Saat pertama kali masuk pemerintahan setelah orde baru, masih bisa membangun berbagai hal, seperti jalan tol, dan lainnya. Bayaran yang diberikan pemerintah sesuai yang ditawarkan, bisa berupa batubara, sehingga berbagai kesempatan terbuka dengan sangat luasnya, BUMN masih punya tangan. Hari ini kita gak bisa, dari satu sisi terjadi dekadensi luar biasa." katanya.
Eros Djarot melihat presiden baru yang mendatang, akan sibuk dengan IKN mengurusi penyesuaian, sinkronisasi, pola komunikasi, adaptasi, dan lain sebagainya. Ia tidak akan membiarkan orang untuk merusak puluhan juta ras-nya sendiri, kemenangan rakyat Indonesia ini merupakan tujuan bersama.
Baca Juga:
Universitas Paramadina Dorong Literasi Investasi Reksa Dana di Kalangan Mahasiswa
"Kepura-puraan sering dijadikan sesuatu yang sakral, dan itu sebetulnya penuh kebohongan, karena yang nyatanya tidak pernah disentuh" imbuhnya. Bahkan Eros Djarot memberikan harapan besar kepada masyarakat Indonesia dan pergerakan dari lembaga intelektual untuk melawan kebijakan agar sesuai dengan kepentingan rakyat.
Menurut Sekjen Serikat Mahasiswa (SEMA) Universitas Paramadina, Afiq Naufal bahwa demokrasi bekerja melalui 2 sisi. Sisi pertama Value of Democracy atau nilai-nilai demokrasi dan sisi kedua adalah Rule of the Law atau hukum dalam negara. Demokrasi adalah metodologi untuk menyeimbangkan kedua hal tersebut.
"Sayangnya sejak awal pemerintahan Jokowi gejala untuk menjerumuskan demokrasi telah tercium. Legislatif yang didominasi partai Jokowi dan partai pengusungnya mereduksi asas check and balance. DPR tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai pengawas dari eksekutif, malah melegitimasi seluruh hajat dari eksekutif." ujarnya.