WahanaNews.co | Keberagaman etnis yang ada di Indonesia menjadi multi kultural dan menjujung tinggi sikap toleransi, terlepas dari agama dan etnis, setiap orang pasti memiliki hak untuk memeluk agamanya masing-masing tanpa melupakan kebudayaan yang diturunkan pendahulunya.
"Kita pahamkan kepada teman-teman yang masuk Islam, bahwa kita masuk Islam ini mengubah keyakinan, loh, bukan mengubah etnis,".
Baca Juga:
Jusuf Kalla Sebut Etnis Tionghoa Kuasai Lebih dari 50% Ekonomi RI
Naga Kunadi melontarkan kalimat itu sampai dua kali, di suatu siang akhir Januari lalu. Tahun Baru Imlek, tinggal menghitung hari saat itu.
"Tapi walau begitu, ada juga yang kadang udah masuk Islam, merasa dirinya tidak perlu lagi menjaga tradisi Chinese. Ya, itu masing-masing lah," ujarnya lagi.
Naga adalah salah satu pengurus di Yayasan Karim Oei. Yayasan ini menaungi Masjid Lautze yang terletak di Sawah Besar.
Baca Juga:
Ramai di Medsos, Inilah Arti Istilah dari 'Hidden Gems'
Tanpa menara atau kubah, masjid yang didesain bergaya arsitektur China ini berdiri anggun di antara impitan pertokoan di jantung kawasan pecinan Jakarta itu.
Sejak 1997, tercatat lebih dari 1.500 orang berikrar untuk menjadi mualaf di Masjid Lautze. Mayoritas adalah keturunan Tionghoa, Naga salah satunya.
Ia lahir di Jakarta, 45 tahun lalu, dengan nama Qiu Xue Long. Atmosfer politik di Indonesia saat itu, membuat nama aslinya tidak dipakai di akta kelahirannya.
"Tahun 77 katanya ada perubahan warga negara, bapak saya yang masih Warga Negara Asing, jadi Warga Negara Indonesia, saya waktu itu buat akta sekalian. Nama saya enggak dipakai lagi, cuma diterjemahkan. Long kan artinya Naga," katanya.
Dalam perjalanannya, Naga memeluk Islam saat berusia 26 tahun, sempat ada penolakan dari keluarganya ketika itu.
Lahir dan besar di keluarga Tionghoa, Naga mengaku hingga kini masih ikut merayakan Imlek.
Berdasarkan sejarah, menurutnya, Imlek bukan tradisi keagamaan sehingga tidak masalah jika ia masih tetap merayakannya.
"Kadang-kadang ketika ada orang Chinese masuk Islam, kemudian dia enggak mau ikut lagi Imlek, itu kadang-kadang yang jadi sorotan juga, sehingga entar dari keluarga Chinese mikir udah masuk Islam jadi fanatik dan segala macam," ucapnya.
Merayakan Imlek sebagai muslim, Naga mengakui membatasi rangkaian kegiatan Imlek. Ia meninggalkan apa yang menurutnya tak sesuai dan mempertahankan apa-apa yang menurutnya tidak bertentangan dengan keyakinan. Semua itu dilakukan Naga secara perlahan.
Ia bercerita, suatu waktu ketika sudah masuk Islam, ia masih ikut mempersiapkan perlengkapan untuk neneknya bersembahyang satu hari sebelum Imlek.
"Keluarga saya ada yang pindah Kristen, sehingga tidak tertarik lagi untuk sembahyang bulan. Tinggal nenek saya yang masih menjalankan. Namanya nenek-nenek harus dibantu. Kalau enggak dibantu nanti dia jatuh atau apa, malah lebih fatal urusannya. Dulu saya masih suka bantuin. Misal bakar-bakar duit duitan. Tapi saya enggak ikut pas penyembahan," katanya.
Selain soal sembahyang, ia pun mengaku tidak mengikuti kegiatan makan-makan bersama keluarganya.
"Misalnya kita enggak bisa tradisi makan bareng. Sulit sekali. Bukannya kita enggak mau ya. Apalagi makanan pas saat makan bareng itu kan enggak pas untuk orang Islam," ujarnya.
Perayaan Imlek setiap tahun, bagi Naga kini dimanfaatkan sebagai ajang silaturahmi dengan keluarganya. Dalam Islam, kata dia, silaturahmi dianjurkan.
Menurutnya juga, silaturahmi bisa sebagai syiar untuk menghilangkan pandangan-pandangan negatif agama lain terhadap Islam.
"Silaturahim kan termasuk ajaran Islam. Kenapa kita tidak manfaatkan ajaran ini. Tetap saya datang ke ibu saya. Bahkan setelah saya menikah, saya ajak istri saya meski bukan orang chinese," katanya.
Tradisi lain yang masih dilakukannya adalah bagi-bagi angpao. Menurutnya, berbagi juga merupakan ajaran Islam yang dianjurkan untuk dilakukan.
"Itu kan tradisi dari orang yang udah menikah memberikan uang ke yang belum (menikah). Dalam ajaran Islam ada ajaran memberi. Kenapa kita enggak coba walaupun kemasannya bukan Islam?" katanya.
Naga mengatakan ajaran Islam di ranah sosial itu luas. Ia pun menyayangkan jika ada rekannya yang masuk Islam namun memutus hubungan sosial dengan pihak lain.
"Karena ajaran Islam yang paling luas kan ajaran sosialnya. Kalau ajaran tentang teologi justru sedikit. Kadang yang kita sayangkan. Orang lebih konsen kepada ajaran teologi jadi melupakan sosialnya," ujarnya.
Lain Naga, lain lagi dengan Andi. Pria yang tinggal di Depok, Jawa Barat ini mengikrarkan keislamannya pada 2021 lalu. Ia tumbuh di keluarga yang sebelumnya juga telah ada yang masuk islam.
"Saya keluarga Chinese campuran. Makanya kadang kan Chinese identik dengan mata sipit. Kalau saya enggak. Chinese dari ayah," kata Andi beberapa waktu lalu.
Sebelum masuk Islam, ia masih ingat bahwa momen imlek diisi dengan sembahyang, makan bersama keluarganya hingga bagi-bagi angpao.
Tradisi itu, khususnya sembahyang, secara pelan-pelan ia tinggalkan setelah masuk Islam.
"Saya enggak langsung bilang enggak mau. Kan keluarga juga campur, ada yang mengerti, ada yang enggak," ujarnya.
Namun Andi mengaku tetap menjaga silaturahmi Imlek. Menurutnya, Imlek adalah warisan tradisi dan budaya, bukan ritual keagamaan.
Berdasarkan pemahaman itu, Andi menyebut masih memperingati sebagian tradisi dan budaya Imlek meski kini muslim.
Andi mengaku Imlek kini dimanfaatkan sebagai momen bersilaturahmi dengan keluarganya.
"Itu kan tidak ada unsur agama. Imlek cuma perayaan musim semi. Ada juga yang muslim kagak mau, ditinggalin semua. Kalau saya tetap aja, (silaturahmi) saudara ya saudara. Budaya itu, enggakada unsur agama," katanya. [bay]