WAHANANEWS.CO, Jakarta - Dunia musik Indonesia kembali diguncang oleh persoalan serius yang menyangkut nasib royalti para musisi, dan kali ini angka yang muncul bikin dahi berkerut karena jumlahnya mencapai miliaran rupiah dalam waktu yang sangat singkat.
Komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) periode 2025–2028, Ahmad Ali Fahmi, yang baru dilantik pada 8 September lalu mengungkap temuan mengejutkan soal dugaan aliran dana royalti performing rights yang tidak sesuai jalur sebagaimana mestinya.
Baca Juga:
Menkumham Supratman Desak Audit LMKN-LMK di Tengah Kisruh Royalti Musik
Fahmi menyampaikan temuan tersebut saat menjadi narasumber di Konferensi Musik Indonesia (KMI) 2025 yang digelar di The Sultan Hotel & Residence, Jakarta Pusat, pada Jumat (10/10/2025) dan menyebut ada pengelolaan dana yang menurutnya “kurang pas secara kelembagaan”.
"Waktu 8-25 Agustus kami menemukan fakta ada pengelolaan dana yang kurang pas, kalau bahasa saya kurang pas di kelembagaan," ujar Fahmi sambil menegaskan bahwa temuan ini muncul hanya beberapa pekan setelah dirinya resmi duduk di kursi Komisioner.
Ia menjelaskan bahwa hampir Rp 17 miliar dana royalti sempat keluar dari sistem distribusi resmi, dan hal ini memicu langkah cepat dari internal LMKN untuk mengamankan kembali dana tersebut.
Baca Juga:
LMKN vs Pranaya Boutique Hotel: Suara Burung Asli Jadi Polemik
"Dalam waktu dua hari, kami bisa menarik dana tersebut, dari transfer yang keluar sejumlah hampir Rp 17 miliar, kami tarik hampir Rp 13 miliar kembali ke LMKN," tambah Fahmi dalam keterangannya.
Meski menyatakan dana itu sudah sebagian besar kembali, Fahmi belum mengungkap secara spesifik ke mana dana tersebut sempat mengalir, namun ia memastikan bahwa proses penyaluran sebelumnya tidak memperhatikan aspek formalitas sebagaimana yang seharusnya diterapkan.
Pernyataan ini sontak memicu kegelisahan di kalangan pelaku musik yang selama ini berharap dana royalti bisa tersalurkan dengan adil tanpa ada potensi kebocoran atau salah kelola.
Banyak yang mulai mempertanyakan apakah selama ini uang royalti benar-benar sampai ke tangan para musisi yang berhak atau justru ada sebagian dana yang tersangkut di tengah proses distribusi yang tak transparan.
Fahmi menegaskan bahwa pihak LMKN kini tengah melakukan penelusuran ulang untuk memastikan alur distribusi kembali sesuai prosedur agar hak-hak musisi dapat tersampaikan secara tepat.
"Komisioner itu bilang kepada teman-teman yang merasa berhak atas distribusi ini, agar melengkapi dokumen data distribusinya, formulanya apa yang dipakai sehingga ini harus didistribusikan sekian ke si A, sekian ke si B, dan seterusnya," ujarnya menjelaskan pentingnya kelengkapan administrasi dari para penerima royalti.
Hingga hari ini belum ada lembaga manajemen kolektif (LMK) yang melayangkan protes resmi, yang artinya dana tersebut sementara masih berada di LMKN sambil menunggu kelengkapan data administratif.
"Tapi sampai detik ini, belum ada LMK yang komplain tentang itu, jadi itulah salah satu bentuk kehati-hatian dari kami sebagai bentuk pelaksanaan transparansi dalam distribusi sehingga dana tersebut belum dapat kami serahkan," tutup Fahmi menegaskan sikap lembaga.
Kasus ini kembali menyeret isu klasik industri musik Indonesia soal transparansi dan kepercayaan dalam pengelolaan royalti, yang selama bertahun-tahun menjadi perdebatan di kalangan musisi dan pemangku kepentingan.
Selama ini banyak musisi yang mengaku tidak pernah mendapatkan penjelasan yang jelas tentang berapa royalti yang menjadi hak mereka dan dari mana data pemakaian karya mereka dikumpulkan.
Temuan Fahmi di awal masa jabatannya membuka kembali diskusi besar tentang pentingnya sistem distribusi royalti yang akurat, transparan, dan dapat dipercaya oleh seluruh pelaku industri musik nasional.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]