WAHANANEWS.CO, Jakarta - Liburan sekolah yang seharusnya membawa keceriaan justru berpotensi menjadi bencana jika masyarakat lengah terhadap dinamika cuaca yang kian sulit diprediksi.
BMKG kembali mengeluarkan peringatan keras terkait potensi cuaca ekstrem yang masih bisa terjadi di berbagai wilayah Indonesia, meski sebagian daerah sudah memasuki musim kemarau.
Baca Juga:
BMKG: Gelombang Tinggi, Banjir, dan Longsor Masih Mengancam di Bulan Juli
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyampaikan, pihaknya telah mengeluarkan peringatan dini cuaca ekstrem sejak jauh hari, dan apa yang terjadi dalam sepekan terakhir menjadi bukti nyata dari akurasi peringatan tersebut.
“Selama sepekan terakhir telah terjadi berbagai kejadian cuaca ekstrem yang berdampak signifikan, seperti hujan lebat, angin kencang, banjir, longsor, hingga kecelakaan transportasi,” ujarnya pada Kamis (3/7/2025).
Salah satu contoh paling tragis adalah tenggelamnya kapal feri KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali, serta berbagai gangguan penerbangan akibat kondisi atmosfer yang tak stabil.
Baca Juga:
Gelombang Panas Terjang Eropa: 8 Tewas, Wisata dan Nuklir Terdampak
Menurut Dwikorita, kondisi atmosfer dan laut saat ini sangat dinamis. “Ini sesuai dengan peringatan dini yang sudah kami keluarkan sejak H-1 bahkan sepekan sebelumnya, baik untuk sektor publik, pelayaran, maupun penerbangan,” tegasnya.
BMKG mencatat bahwa hingga akhir Juni 2025, baru sekitar 30 persen zona musim di Indonesia yang benar-benar masuk ke musim kemarau.
Padahal, secara klimatologis normal, pada waktu yang sama biasanya lebih dari 60 persen wilayah sudah mengalami kemarau.
Anomali hujan di atas normal sejak Mei 2025 menjadi faktor utama keterlambatan musim kemarau ini.
Data terbaru menunjukkan curah hujan kategori ekstrem masih tercatat di sekitar 53 persen wilayah, terutama di Jawa, Bali, NTB, NTT, sebagian Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Bahkan pada 2 Juli 2025, hujan ekstrem tercatat di sejumlah lokasi, seperti Stasiun Geofisika Deliserdang yang mencatat curah hujan 142 mm, dan Stasiun Meteorologi Rendani di Papua Barat dengan 103 mm.
Dwikorita mengimbau seluruh operator transportasi, baik darat, laut, maupun udara, untuk menjadikan informasi cuaca sebagai acuan wajib dalam pengambilan keputusan operasional.
“Keselamatan harus menjadi prioritas. Pengambilan keputusan dalam operasional transportasi harus mengacu pada data meteorologi yang kami sampaikan secara resmi dan berkala,” tandasnya.
Tak hanya itu, masyarakat umum yang hendak bepergian selama masa liburan sekolah juga diminta untuk tidak mengandalkan intuisi semata saat merencanakan perjalanan.
“Cuaca saat ini tidak bisa diprediksi hanya dengan kebiasaan atau intuisi. Kita semua perlu berbasis data dan bersiap menghadapi dinamika iklim yang terus berubah,” tegasnya.
Dwikorita juga menyerukan agar para pelaku di sektor pemerintahan, pertanian, kebencanaan, logistik, hingga pariwisata menggunakan data BMKG sebagai dasar perencanaan kegiatan.
Semua informasi resmi tentang cuaca dapat diakses melalui aplikasi infoBMKG, situs web, maupun media sosial resmi BMKG.
Dengan kata lain, dalam situasi cuaca yang tidak menentu ini, kesadaran kolektif dan kedisiplinan mengikuti informasi cuaca bisa menjadi kunci penyelamatan banyak nyawa.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]