Anomali hujan di atas normal sejak Mei 2025 menjadi faktor utama keterlambatan musim kemarau ini.
Data terbaru menunjukkan curah hujan kategori ekstrem masih tercatat di sekitar 53 persen wilayah, terutama di Jawa, Bali, NTB, NTT, sebagian Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Baca Juga:
BMKG: Gelombang Tinggi, Banjir, dan Longsor Masih Mengancam di Bulan Juli
Bahkan pada 2 Juli 2025, hujan ekstrem tercatat di sejumlah lokasi, seperti Stasiun Geofisika Deliserdang yang mencatat curah hujan 142 mm, dan Stasiun Meteorologi Rendani di Papua Barat dengan 103 mm.
Dwikorita mengimbau seluruh operator transportasi, baik darat, laut, maupun udara, untuk menjadikan informasi cuaca sebagai acuan wajib dalam pengambilan keputusan operasional.
“Keselamatan harus menjadi prioritas. Pengambilan keputusan dalam operasional transportasi harus mengacu pada data meteorologi yang kami sampaikan secara resmi dan berkala,” tandasnya.
Baca Juga:
Gelombang Panas Terjang Eropa: 8 Tewas, Wisata dan Nuklir Terdampak
Tak hanya itu, masyarakat umum yang hendak bepergian selama masa liburan sekolah juga diminta untuk tidak mengandalkan intuisi semata saat merencanakan perjalanan.
“Cuaca saat ini tidak bisa diprediksi hanya dengan kebiasaan atau intuisi. Kita semua perlu berbasis data dan bersiap menghadapi dinamika iklim yang terus berubah,” tegasnya.
Dwikorita juga menyerukan agar para pelaku di sektor pemerintahan, pertanian, kebencanaan, logistik, hingga pariwisata menggunakan data BMKG sebagai dasar perencanaan kegiatan.