WAHANANEWS.CO, Jakarta - Aksi demonstrasi yang berakhir ricuh bahkan berujung pada penjarahan di sejumlah lokasi belakangan ini menjadi perhatian banyak pihak.
Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi, menegaskan bahwa tindakan anarkis tidak dapat dibenarkan.
Baca Juga:
Menag Serukan Ketertiban dalam Aksi: “Aspirasi Wajar, Tapi Jangan Anarkis”
"Penjarahan adalah bukan demonstrasi dan tidak pernah dibenarkan oleh hukum, betapa pun rakyat marah dengan para pejabat negara," ujarnya, Minggu (31/8/2025).
Di sisi lain, wacana Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset juga menuai sorotan serius dari berbagai kalangan.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menilai regulasi ini sangat penting, tetapi perlu dikaji secara hati-hati karena menyangkut hak kepemilikan pribadi yang dijamin UUD 1945.
Baca Juga:
Di Tengah Gelombang Demonstrasi, Polda Metro Jaya Gelar Patroli Skala Besar
Ketua BPKN, Muhammad Mufti Mubarok, menekankan bahwa publik memang wajar menuntut percepatan pengesahan RUU tersebut sebagai instrumen pemberantasan korupsi dan kejahatan ekonomi.
Namun, ia mengingatkan agar desain regulasi tidak menimbulkan ketidakadilan baru.
"Instrumen perampasan aset memang dibutuhkan untuk memulihkan kerugian negara dan menutup celah kejahatan ekonomi.Tetapi desainnya harus presisi agar tidak berbalik menimbulkan ketidakadilan bagi warga yang taat hukum," jelas Mufti dalam keterangan tertulisnya, Senin (1/9/2025).
Titik Kritis RUU Perampasan Aset
Mufti menegaskan ada sejumlah aspek krusial yang harus diperhatikan:
1. Objek dan ruang lingkup perampasan harus jelas, hanya terbatas pada aset yang terkait langsung dengan tindak pidana.
2. Due process of law wajib dijamin dengan pengawasan hakim dalam setiap tahap, mulai dari penyitaan, pembekuan, hingga perampasan.
Hak banding dan mekanisme keberatan juga harus tersedia.
3. Perampasan aset tanpa pemidanaan (NCBAF) bila diadopsi, harus dibatasi dengan standar pembuktian tinggi, transparansi, serta kontrol ketat agar tidak disalahgunakan.
4. Perlindungan pihak ketiga beritikad baik mutlak diperlukan, termasuk mekanisme kompensasi jika terjadi salah sita.
Selain itu, Mufti menyampaikan bahwa sejumlah organisasi antikorupsi mengusulkan pembatasan nilai dan cakupan agar instrumen hukum ini fokus pada kejahatan besar dan tidak meluas secara berlebihan.
Harus Transparan dan Terintegrasi
BPKN juga menekankan perlunya standar transparansi dan akuntabilitas.
Putusan pengadilan, laporan pelaksanaan, audit independen, hingga kanal pengaduan publik harus terbuka agar masyarakat bisa mengawasi.
RUU Perampasan Aset juga perlu sinkron dengan KUHP/KUHAP serta aturan sektoral lain, seperti perbankan, fidusia, kepailitan, dan perlindungan data pribadi.
Tanpa sinkronisasi, ada risiko tumpang tindih yang merugikan pelaku usaha maupun konsumen.
Mufti menambahkan, kelembagaan pelaksana perampasan aset harus jelas, ramping, dan diawasi lintas lembaga agar efektif serta tidak membebani masyarakat dengan biaya kepatuhan tambahan.
"Kami mendukung penuh upaya negara untuk merampas aset hasil korupsi dan kejahatan ekonomi. Namun, jangan sampai rakyat yang jujur, taat hukum, dan beritikad baik ikut terdampak karena aturan yang terburu-buru. RUU ini harus dikaji secara cermat, transparan, dan melibatkan partisipasi publik. Jangan sampai yang lahir adalah instrumen hukum yang melukai rakyat, padahal tujuan utamanya untuk melindungi rakyat," tegas Mufti.
Poin Penting RUU Perampasan Aset
Menurut BPKN, RUU ini harus sejalan dengan prinsip konstitusi, khususnya Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 tentang jaminan hak kepemilikan, serta Pasal 28D ayat (1) mengenai kepastian hukum yang adil.
Mufti juga menyinggung kaitannya dengan perlindungan konsumen.
Tabungan, investasi, maupun aset sah masyarakat jangan sampai ikut terimbas akibat pasal yang multitafsir. Jika tidak hati-hati, kepercayaan masyarakat pada sistem hukum bisa menurun.
"BPKN RI mendukung penguatan pemberantasan korupsi lewat perampasan aset yang terukur dan adil. Cepat boleh, asal tepat. RUU ini harus menjadi instrumen efektif memulihkan kerugian negara tanpa menggerus hak konstitusional warga dan konsumen yang beritikad baik," pungkasnya.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]