WahanaNews.co | Lonjakan kasus penularan Covid-19 yang terjadi dalam beberapa
pekan terakhir membuat fasilitas kesehatan (faskes) di Tanah Air kewalahan.
Kondisi ini menuntut semua pihak turun
tangan menyediakan faskes yang memadai guna menghindari jatuhnya korban jiwa
lebih banyak.
Baca Juga:
Ketum IDI: Indonesia Kekurangan Dokter Spesialis
Jumlah masyarakat yang terpapar virus Corona terus menunjukkan peningkatan setiap hari sejak pertengahan
Juni 2021 lalu.
Tingkat keterisian tempat tidur
perawatan atau bed occupancy rate (BOR)
melonjak sampai 90%, sehingga tak semua masyarakat yang
memiliki gejala terkena Covid ringan hingga sedang mendapatkan
pelayanan di faskes yang dikelola pemerintah pusat, pemerintah daerah, atau swasta.
Masyarakat yang terpapar Covid-19 pun
semakin merana karena harus mencari faskes dengan mendatanginya secara
langsung.
Baca Juga:
Kemenkes Sebut 8.362 Faskes di Indonesia Terkoneksi ke Aplikasi SATUSEHAT
Padahal, sejak beberapa tahun
terakhir, proses digitalisasi faskes yang digadang-gadang akan memudahkan
masyarakat dalam memperoleh layanan kesehatan dilakukan dengan masif.
Sayangnya, proses
digitalisasi dengan memaksimalkan platform health tech tersebut ternyata belum memberikan
banyak manfaat bagi masyarakat di tengah hantaman pandemi gelombang kedua saat
ini.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Rumah
Sakit Seluruh Indonesia (Persi), Lia Gardenia Partakusuma, mengatakan, dari data yang dimiliki Persi, saat ini belum semua
rumah sakit melakukan pelayanan secara digital.
Dari total 3.036 rumah sakit, hanya
40% saja yang sudah melakukan pelayanan digital.
"Memang belum semua rumah sakit
memiliki kemampuan untuk health
tech ini karena banyak kendala juga yang dihadapi, mulai dari sistem pendaftaran rumah sakit hingga penagihan. Kita
pun sempat meminta semua rumah sakit untuk bisa memanfaatkan fasilitas
ini," ungkap Lia, saat dihubungi wartawan, Jumat (9/7/2021).
Dia menambahkan, banyak faskes yang
menilai penerapan digitalisasi membutuhkan biaya besar.
Selain itu, masih ada sebagian rumah
sakit yang menganggap bahwa penggunaan layanan health
tech ini membutuhkan biaya yang mahal.
Padahal, jika
melihat pemanfaatan sistemnya yang sudah cukup baik, hal itu akan membuat
efisiensi kerja rumah sakit menjadi lebih ringan.
"Dengan memanfaatkan digitalisasi, kerja rumah sakit bisa lebih ringan, seperti
efisiensi tenaga, pelayanan, membuat tagihan dengan cepat. Nah, ini yang belum dimengerti oleh beberapa rumah sakit,"
tambahnya.
Salah satu faktor yang menjadi penyebab
kegagalan penerapan health tech di
Indonesia adalah sistem rumah sakit yang tidak selalu ter-update.
"Terlebih saat pandemi seperti
ini, tentu masyarakat selalu mencari informasi di mana rumah sakit rujukan dan
ketersediaan kamar," tegas Lia.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes)
sebenarnya memiliki rumah sakit indukan yang bernama rumah sakit online.
Di sini, terdapat
data-data yang menghubungkan semua rumah sakit, mulai
dari data kamar hingga alat-alat kesehatan.
Rumah sakit online ini juga dihubungkan ke sistem rawat
inap (siranap).
Dari sini bisa terlihat jumlah tempat
tidur yang kosong.
"Tapi permasalahannya banyak rumah
sakit yang belum meng-update datanya, dan ini yang menyebabkan tidak bisa menjawab kebutuhan
masyarakat, jadi seolah lamban dan tidak berfungsi," jelasnya.
Untuk menjawab solusi ini, dirinya menyarankan, pertama, harus ada komitmen dari rumah
sakit untuk menggunakan layanan digital dalam dan harus dijadikan tujuan
utamanya.
"Karena rumah sakit memiliki owner yang berbeda, ada yang dimiliki
pemerintah dan swasta. Biasanya, rumah sakit yang dimiliki pemerintah
sudah harus terhubung dengan digitalisasi, agar
masyarakat bisa melihat informasi hanya dari satu pintu. Adapun untuk rumah
sakit swasta, mereka sudah banyak yang memanfaatkan
pelayanan secara digital," tutur Lia.
Kedua, memiliki anggaran yang pasti.
Anggaran ini harus terus dimasukkan
karena menjadi kebutuhan utama untuk pengembangan layanan digital.
Ketiga, rumah sakit yang masuk dalam
jaringan digital harus selalu update dalam
pengembangan datanya.
"Menurut saya, pemerintah harus lebih kuat lagi dalam menginstruksikan para
rumah sakit ini agar terus update," tandasnya.
Keempat, harus memiliki legalitas
baik.
Jika legalitas layanan digital ini
bisa diperkuat dengan dasar hukum yang pasti, menurut Lia, tentunya hal itu
akan memberikan pengamanan kepada pasien mengenai kerahasiaan datanya.
Di sisi lain, pakar
teknologi informatika (TI), Ono Purbo, menilai, hal yang membuat program health
tech belum bisa berjalan lancar adalah karena regulasi yang ada saat ini
belum cukup mendukung pengembangan ekosistem teknologi kesehatan dari sudut
pandang digital, terutama dalam mewujudkan perlindungan bagi konsumen dan
berbagai pemangku kepentingan.
Ia pun menyatakan, tantangan yang
dihadapi dalam pengembangan ekosistem health
tech mencakup beberapa hal, seperti sumber daya manusia (SDM)
kesehatan yang sebagian besar belum melek digital, pelayanan kesehatan yang
belum siap beralih ke digital, hingga regulasi yang belum mendukung.
"Regulasi yang belum mendukung
dari sudut pandang digital dan berbagai pemangku kepentingan masih dalam
kacamata kuno. Contoh saja telekonsultasi dan rekam medis elektronik,
peraturannya saat ini juga belum selesai, tetapi sudah banyak pelakunya,"
ujarnya.
Ekosistem health tech saat ini, dinilai
Ono masih sangat terbatas.
Para pelaku yang ingin melahirkan
inovasi kerap kali terbentur mencari bentuk inovasi yang dapat masuk ke sistem
konvensional.
"Untuk melakukan sesuatu yang
sangat berbeda belum tentu ada pasarnya atau malah akan dianggap tidak
sungguh-sungguh," urainya.
Untuk mengatasinya, ia menyarankan
perlu lebih banyak kerja sama riset dari akademisi, industri, dan perusahaan
rintisan serta peran pemerintah yang mengutamakan regulasi yang mendorong
inovasi, bukan menahan.
Selain itu, perlu
adanya pengayaan bagi profesi tenaga kesehatan mengenai peranan teknologi
sebagai bagian penting dalam pelayanan kesehatan.
Perbaikan kurikulum pendidikan yang
membuat literasi digital juga perlu dilakukan.
"Perlu duduk bersama
antar-pemangku kepentingan terkait, yakni pemerintah dan perhimpunan profesi
kesehatan, dengan tujuan mewujudkan regulasi yang mendukung inovasi, antara
lain dengan health tech
regulatory sandbox di mana regulasi bisa mulai bertemu di tengah dengan
inovasi," tuturnya.
Sejauh ini, Ono
menyebutkan, hampir 80 rintisan teknologi kesehatan yang terdaftar dalam tujuh
kategori.
Kategori ini dipilih berdasarkan
bisnis model utamanya, antara lain media dan komunitas, sistem informasi, on-demand health, marketplace, telekonsultasi, e-learning, serta artificial intelligence (AI), IoT.
Sementara itu, pengamat
kesehatan, Hasbullah Thabrany, juga mendorong rumah sakit pemerintah
dan swasta di Indonesia untuk meningkatkan layanan secara optimal, termasuk memperluas
penggunaan aplikasi kesehatan sebagai bentuk digitalisasi kesehatan.
Karena, aplikasi
dapat memangkas sejumlah tahapan yang selama ini diperlukan rumah sakit untuk
beroperasi melayani masyarakat.
"Terutama untuk mempertemukan
pasien dengan dokter yang sesuai dengan keluhan kesehatan pasien,"
ujarnya.
Ia pun berpandangan, sejauh ini dukungan pemerintah sudah optimal.
Namun, kecepatan
dalam mengeluarkan regulasi dan kebijakan mengenai layanan kesehatan digital
harus ditingkatkan.
Misalnya, aturan
mengenai keamanan, kepemilikan data, aspek privasi, serta perizinan.
Hasbullah menambahkan, perkembangan
pesat teknologi kesehatan digital juga perlu diimbangi dengan upaya
perlindungan konsumen.
Pasalnya, revolusi
teknologi kesehatan itu terbuka (peer to peer/P2P), sehingga perlu diantisipasi para
pemangku kepentingan. [dhn]