WAHANANEWS.CO - Komisi III DPR mendesak Otoritas Jasa Keuangan menghapus aturan penagihan utang oleh pihak ketiga setelah rentetan insiden penagihan berujung kekerasan dan korban jiwa kembali terjadi.
Desakan itu disampaikan Anggota Komisi III DPR Abdullah sebagai respons atas peristiwa penagihan utang yang menimbulkan tindak pidana dan korban jiwa di depan Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis (11/12/2025).
Baca Juga:
Ketua DPR: Mulai 2 Januari 2026 KUHAP Baru Akan Berlaku
Ia juga menyinggung kasus serupa yang kembali terjadi dengan ancaman, kekerasan, dan tindakan mempermalukan konsumen di Jalan Juanda, Depok, Sabtu (13/12/2025).
“Ini kedua kali, saya minta OJK hapus aturan penagihan utang oleh pihak ketiga,” kata Abdullah, Senin (15/12/2025).
Menurut Abdullah, Peraturan OJK Nomor 35 Tahun 2018 dan Nomor 22 Tahun 2023 yang mengatur penagihan utang oleh pihak ketiga dapat dinilai tidak efektif dalam mencegah kekerasan di lapangan.
Baca Juga:
Fit and Proper Test Calon Hakim Agung, Annas Kritik Rompi Oranye KPK
Ia mempertanyakan dasar hukum OJK dalam menerbitkan aturan tersebut karena Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia tidak memberikan mandat penagihan utang melalui pihak ketiga.
“Mengacu pada UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, di dalamnya tidak mengatur secara eksplisit dan memberikan mandat langsung untuk penagihan utang kepada pihak ketiga, melainkan pada kreditur,” ujarnya.
Abdullah menilai, di tengah krisis tata kelola penagihan utang oleh pihak ketiga, OJK menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas situasi tersebut.
Ia menegaskan OJK tidak cukup hanya membuat aturan, tetapi juga wajib mengawasi secara ketat serta memitigasi risiko agar tidak muncul celah tindak pidana.
Karena itu, Abdullah yang juga anggota Badan Legislasi DPR mendesak agar penagihan utang dikembalikan sepenuhnya kepada kreditur atau pelaku usaha jasa keuangan tanpa melibatkan pihak ketiga.
“Kembalikan penagihan utang kepada pelaku usaha jasa keuangan tanpa melibatkan pihak ketiga, perbaiki tata kelola penagihan utang dengan peraturan yang mengutamakan perlindungan konsumen dan hak pelaku usaha jasa keuangan dengan tanpa atau minim celah tindak pidana,” kata Abdullah.
Ia juga meminta OJK bersama kepolisian menindak tegas pelaku usaha jasa keuangan yang masih menagih utang melalui pihak ketiga dengan cara-cara yang mengarah pada tindak pidana.
“Periksa dan investigasi pelaku usaha jasa keuangan terkait, jika ada pelanggaran tindak dan sanksi tegas, baik etik maupun pidana,” tutur politikus PKB itu.
Sebelumnya, kepolisian menyatakan perlu dilakukan evaluasi terhadap praktik mata elang atau debt collector dalam menarik paksa kendaraan yang menunggak cicilan.
Pernyataan itu disampaikan Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Budi Hermanto menyusul kasus pengeroyokan yang menewaskan dua mata elang oleh enam anggota Yanma Mabes Polri di Kalibata, Jakarta Selatan.
Budi menyebut kejadian tersebut menjadi momentum evaluasi bagi perusahaan leasing untuk menata ulang regulasi agar peristiwa serupa tidak kembali terulang.
“Memang kalau dari hasil kondisi di lapangan beberapa dekade ini ada cara-cara yang salah dilakukan oleh mata elang ataupun debt collector,” kata Budi kepada wartawan, Minggu (14/12/2025).
Menurutnya, pihak ketiga seharusnya lebih mengedepankan imbauan kepada debitur untuk melunasi kewajiban atau menempuh prosedur administratif lainnya.
“Jadi bukan mengambil, memberhentikan secara paksa terkait tentang customer yang ada di jalanan, ini yang menjadi perhatian kita bersama,” ujarnya.
Pada 2020, Mahkamah Konstitusi juga telah menegaskan larangan eksekusi sepihak oleh perusahaan leasing maupun debt collector terhadap objek jaminan fidusia.
Larangan tersebut tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020 yang bersifat final dan mengikat.
Dalam putusan itu, MK menyatakan tidak adanya tata cara eksekusi yang jelas kerap memicu paksaan dan kekerasan oleh pihak yang mengaku mendapat kuasa penagihan.
MK menegaskan eksekusi jaminan fidusia tidak boleh dilakukan sendiri oleh kreditur atau penerima kuasa, melainkan harus melalui permohonan ke Pengadilan Negeri.
Selain itu, MK menilai kewajiban debitur melunasi utang tidak dapat dijadikan pembenaran untuk melakukan teror, kekerasan, ancaman, maupun penghinaan terhadap martabat warga.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]