WahanaNews.co | Penanganan kasus dugaan korupsi yang menjerat Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi bakal diusut melalui mekanisme TNI. Kasus ini dinilai jadi momentum untuk merevisi UU Peradilan Militer.
Pusat Polisi Militer TNI menetapkan Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi dan Koordinator Administrasi Kabasarnas Letkol Adm Afri Budi Cahyanto sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap pengadaan alat-alat di Basarnas.
Baca Juga:
Setyo Budiyanto Terpilih sebagai Ketua KPK: OTT Tetap Senjata Utama
Perkara ini terbongkar lewat operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi pada Selasa pekan lalu di Cilangkap dan Bekasi. TNI kemudian mengambil alih kasus ini dari KPK.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menilai penanganan melalui peradilan militer sudah sesuai aturan hukum yang berlaku. Dia merujuk pada Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer.
"Tindak pidana yang dilakukan anggota TNI itu memang dilakukan oleh Peradilan Militer dalam seluruh jenis tindak pidana," kata Mahfud dalam keterangan video di akun Instagram, Selasa (1/8).
Baca Juga:
Lima Pimpinan Baru KPK Ditetapkan, Setyo Budiyanto Jadi Ketua
Meski demikian dalam Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia mengatur Peradilan Umum bagi prajurit yang melanggar hukum pidana umum.
"Prajurit tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan Peradilan Umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang," demikian bunyi pasal tersebut.
Namun, kata Mahfud, sebelum ada Undang-undang Peradilan Militer yang baru, yang menggantikan UU Nomor 31 Tahun 1997, maka penanganannya tunduk pada Peradilan Militer.
Panglima TNI Laksamana Yudo Margono mengatakan pihaknya sejalan dengan Menko Polhukam bahwa TNI tunduk pada Peradilan Militer sesuai UU Nomor 31 Tahun 1997. Meskipun dalam UU TNI diatur peradilan umum bagi prajurit.
"TNI tetap tunduk pada hukum dan saya tidak akan melindungi," ujarnya.
Ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chairul Huda mengkritik pernyataan Mahfud yang hanya merujuk satu undang-undang dalam kasus ini. Menurutnya, pernyataan Mahfud boleh jadi benar secara politik, tapi tidak tepat secara hukum.
Selain Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, ada undang-undang lain yang harus dijadikan rujukan. Di antaranya UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, dan UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2021 tentang Tindak Pidana Korupsi.
UU TNI merevisi hakikat UU Peradilan Militer
Dalam sejarahnya, Undang-Undang Peradilan Militer dibuat di masa Orde Baru saat TNI (dahulu ABRI) menjadi kekuatan politik dominan. Sehingga tidak mengherankan jika personel TNI tunduk sepenuhnya kepada kompetensi absolut peradilan militer.
Namun kini, 'hakikat' UU Peradilan Militer telah direvisi oleh orde reformasi melalui UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI. Di sana diatur apabila anggota TNI melanggar kepentingan umum maka tunduk kepada peradilan umum.
Korupsi merupakan tindak pidana yang melanggar hak asasi, sosial dan ekonomi masyarakat. Karenanya, korban sejati dari tindak pidana ini adalah masyarakat pada umumnya, bukan militer.
Terlebih lagi, Basarnas yang dikukuhkan dengan UU No. 29 Tahun 2014 adalah lembaga pemerintahan sipil yang berkoordinasi langsung di bawah Presiden.
Kasus korupsi di Basarnas dinilai sebagai pelanggaran atas kepentingan umum. Karena itu, walaupun tindak pidana tersebut dilakukan oleh anggota TNI aktif, hal itu menjadi kompetensi absolut pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Selain itu, UU No. 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tipikor menegaskan bahwa Pengadilan Tipikor adalah pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum. Pengadilan inilah yang dinilai lebih tepat mengadili kabasarnas yang juga merupakan anggota militer, atas dugaan kasus korupsi.
"Jika Mahfud hanya menyandarkan pada satu UU saja (UU No. 31/1997) menunjukkan 'keberpihakan' yang bersangkutan atas sikap keras kepala TNI yang 'ngotot' sebagai yang berwenang menangani perkara korupsi Kabasarnas," kata Chairul yang juga penasihat ahli Kapolri bidang hukum.
Chairul Huda menilai Mahfud MD tidak berpihak pada penegakan hukum secara murni dan konsekuen, tetapi berpihak pada "game of the rule" Orde Baru. Keberpihakan ini dianggap sebagai anti-klimaks posisi politik Mahfud sebagai pejabat pemerintah yang lain dari perjuangan orde reformasi.
"Mahfud dan pimpinan KPK wajar jika dicap sebagai pengkhianat cita-cita reformasi hukum. Jadi masalah ini tidak bisa dirujuk dengan satu UU, saya menggunakan 6 atau 7 UU," kata Chairul.
Dia menilai kasus dugaan korupsi Basarnas seharusnya menjadi momentum bagi Pemerintah dan DPR untuk merevisi UU Peradilan Militer. Meskipun upaya merevisinya sudah sejak awal reformasi, tetapi hingga kini belum juga berhasil.
"Karena TNI belum juga mau bersepakat mengejawantahkan Pasal 65 ayat (2) UU No. 34 tahun 2004," katanya.
Secara politik, upaya merevisi UU Peradilan Militer akan sulit terlaksana saat ini, karena politisi Senayan 'tidak mau kehilangan dukungan' keluarga besar TNI dalam Pemilu 2024.
Di balik ini semua, Chairul menduga ada banyak pihak yang ikut menikmati uang haram hasil korupsi Basarnas. Hal ini terkait dengan pernyataan Kabasarnas yang menyebut bahwa uang hasil dugaan korupsi itu juga digunakan dalam operasional Basarnas.
"Sehingga bisa merepotkan TNI jika hal ini dibuka lebar-lebar. Untuk melokalisirnya makanya kasus ini kemudian ditangani POM TNI," katanya.
Menurutnya, dengan dalih tidak ada perintah atasan yang berhak menghukum (Ankum) dan perwira penyerah perkara (Papera) dalam sistem peradilan militer, maka pihak-pihak lain itu 'aman' untuk tidak diproses.
Peluang mekanisme peradilan umum
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyatakan kasus dugaan korupsi Basarnas bisa diadili di peradilan umum jika ada tim koneksitas. Sebab menurutnya, tindak pidana yang dilakukan Marsdya Henri Alfiandi tidak termasuk tindak pidana militer.
Kasus ini terjadi di lembaga pemerintah dan menimbulkan kerugian negara.
"Ya seharusnya kalau itu dilakukan koneksitas, kalau koneksitas jelas itu ke pengadilan umum," kata Alex di Gedung KPK, Jakarta, Senin (31/7).
Dia mengatakan wacana pembentukan tim koneksitas antara KPK dan Puspom TNI saat ini masih dibahas. Menurutnya, Ketua KPK Firli Bahuri dan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono terus berkomunikasi dalam penanganan perkara korupsi Kabasarnas.
"Ya, mereka menghendaki adanya suatu MoU atau semacam PKS (perjanjian kerja sama) untuk ke depan supaya ada sinergi," ujar Alex.
Kasus itu terbongkar lewat operasi senyap KPK di Cilangkap dan Bekasi.
Dari situ KPK mengumumkan lima tersangka yakni Marsdya Henri, Letkol Afri, serta tiga orang dari pihak swasta yakni Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati (MGCS) Mulsunadi Gunawan; Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati (IGK) Marilya; dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama (KAU) Roni Aidil.
Kedua perwira aktif TNI itu dikenakan Pasal 12 a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Penetapan tersangka terhadap perwira tinggi dan menengah TNI itu mengundang polemik. Komandan Puspom TNI Marsda Agung memimpin rombongannya mendatangi markas KPK untuk mengklarifikasi kasus ini pada Jumat (28/7).
Usai pertemuan itu, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak meminta maaf secara kelembagaan atas penetapan tersangka prajurit TNI itu dan menyebut ada kekhilafan.[eta]