WahanaNews.co | Mantan
Kepala Kamar Mesin (KKM) KRI Nanggala-402, Laksamana Muda (Purnawirawan) Frans
Wuwung minta agar kasus karamnya kapal selam tersebut tidak dibelokkan ke isu
perlunya peremajaan alutsista.
Baca Juga:
Sugiono Dorong Italia Investasi di Energi Hijau dan Pertahanan Nasional
Karena, kata Frans, meskipun KRI Nanggala sudah tua, namun
semua peralatannya masih dalam keadaan bagus lantaran dipelihara dengan baik
dan teratur.
Frans menyesalkan bila ada pejabat yang menganggap perlunya
segara dilakukan modernisasi alutsista berkaca pada tenggelamnya KRI Nanggala.
"Tolong jangan permasalahkan ini (Nanggala) tua, jangan ke
situ dulu. Itu kan namanya menjelekkan anak buah," ujar Frans saat ditemui di
Surabaya, baru-baru ini.
Baca Juga:
Menhan Temukan Tantangan Baru Saat Tinjau SPPI di Lanud Kalijati
Menurut Frans, pemeliharaan KRI Nanggala-402 selama ini
didasarkan pada sistem pemeliharaan terpadu (SPT) dengan panduan technical
handbook (THB). Teknisnya, ada perawatan berkala tiga bulanan, enam bulanan dan
satu tahunan. Selain itu, ada pula perawatan turun mesin (overhaul) tiap lima 5
tahun sekali dan 10 tahun sekali.
Bahkan, menurutnya, pernah terjadi yang mestinya kapal
memasuki masa overhaul 5 tahunan, namun dimundurkan jadi 8 tahun. "Why? Karena
kapal kita pelihara dengan baik sesuai SPT dan THB. Kalau tidak sesuai dengan
itu, pasti sudah kek kok kek kok (menirukan suara kapal yang dalam kondisi tidak baik)," kata Frans.
Frans berujar, mundurnya masa overhaul dari 5 tahun jadi 8
tahun tersebut patut disyukuri karena ketika itu bersamaan dengan datangnya
perintah untuk mengawasi dugaan penyelundupan senjata dari wilayah Filipina ke
daerah konflik Ambon dan Poso.
"Kalau saat itu kita harus docking untuk pemeliharaan, kita
tidak bisa melaksanakan tugas negara," tutur mantan anggota Fraksi TNI-Polri di
DPR ini.
Frans juga mengatakan
pernah mendengar langsung pujian dari instrukturnya di Jerman bahwa negara itu
bangga menjual kapal selamnya ke Indonesia karena dipelihara dengan baik.
Jerman, kata Frans, merasa terhormat dengan perlakuan TNI
Angkatan Laut pada KRI Nanggala. "Makanya hati saya sakit kalau ada yang bilang
Nanggala sudah tua dan waktunya peremajaan. Nanti dulu," ujarnya.
Tak hanya dalam perawatan, saat KRI Nanggala akan menyelam,
ketentuannya pun sangat ketat karena TNI AL mewajibkan ada latihan hingga empat
tingkatan atau sering disebut L1 hingga L4.
L1 sampai L3, kata dia, berisi
persiapan-persiapan, mulai memeriksa semua peralatan, kesiapan teknis,
dan bagaimana ABK membereskan hal-hal yang kurang sempurna. Misalnya bila ada
alat yang tak berfungsi atau terdapat kebocoran. "Semua diuji," ujarnya.
Setelah itu, kondisi kapal masih dicek dan diuji lagi oleh
komandan komando latihan armada. Setelah dinyatakan lulus, baru diperbolehkan
berlayar untuk melaksanakan latihan penembakan torpedo. Latihan penembakan ini
sendiri meliputi dua hal, yakni penembakan kepala latihan tanpa bahan peledak,
dan latihan kepala perang dengan bahan peledak. "Jadi kalau sampai Nanggala
sudah berlayar sampai latihan penembakan torpedo, artinya sudah lulus L1 sampai
L3," tuturnya.
Frans menganalisa,
jika karamnya KRI KRI Nanggala-402 akibat matinya sistem kelistrikan (black
out) seperti dugaan selama ini, berarti segala peralatan tidak bisa digerakkan
atau power lost.
Kemudi dalam posisi menyelam dan motor sudah menuju ke
penyelaman. "Barangkali ABK-nya ada something, sehingga dia terlalu lama untuk
mencari penyebab black out," katanya Frans yang menjadi KKM Nanggala saat
berpangkat letnan kolonel pada 1985. [dhn]